02 March 2014

Jejak Kaki di Tanah Suci (2)

Lain waktu kami dibawa ke Jabal Uhud, lokasi perang Uhud pada zaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Kisah perang Uhud sudah berulang kali saya dengar dalam berbagai kesempatan, entah dalam tarbiyah, ta’lim ataupun nasihat ketika menjadi panitia suatu kegiatan. Tapi saat itu, Uhud bagi saya adalah sesuatu yang jauh, baik ruang maupun waktu. Saya tak punya gambaran apapun akan tempat itu. Yang dapat saya lakukan hanya mengambil hikmah di dalamnya. Tapi kini, saya menginjakkan kaki di atas lokasi medan perang itu. Kini saya berdiri di tempat yang sebelumnya hanya saya baca dari buku-buku shirah. Kini, saya melihat langsung bukit di mana 40 pasukan pemanah ditempatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihii Wasallam yang kemudian mengabaikan perintah beliau karena kilauan harta ghanimah. Akhirnya tersisa 10 orang yang bertahan di atas bukit. Saya bisa membayangkan bagaimana dahsyatnya perang itu di masa lalu. Saya bisa membayangkan bagaimana Khalid bin Walid yang kala itu belum masuk islam, melihat peluang ketika pasukan pemanah beramai-ramai turun lalu menyerang kaum muslimin dari belakang. Saya bisa membayangkan bagaimana paman Nabi, Hamzah, terbunuh dalam perang tersebut. Saya bisa membayangkan bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam  terluka parah dan nyaris terbunuh.

Gunung Uhud
Bukit pasukan pemanah
Area perang

Di area bekas tetesan darah Rasulullah yang terluka, hingga kini ada bau harum yang dapat tercium dari jarak 30 meter. Namun karena banyaknya orang yang melakukan kesyirikan di tempat itu, lokasi pun ditutup rapat dengan tembok batu. Sewaktu bus melewati area tersebut, sang sopir membuka pintu mobil bagian depan. Tiba-tiba Ahmad dan beberapa peserta yang duduk di depan mencium bau harum seperti mawar. Masya Allah. 

Ketika terjadi banjir bandang di Madinah, seluruh jenazah para syuhada uhud mengambang ke permukaan. Ajaibnya, jenazah mereka masih utuh seperti baru saja terjadi peperangan dengan darah yang masih mengalir di sekujur tubuh disertai bau yang harum. Tetapi hanya dua jenazah yang dapat dikenali. Salah satunya adalah Hamzah, paman Rasulullah, yang dapat dikenali karena jantungnya yang hilang diambil Hindun binti Utbah. Peristiwa ini sekaligus bukti nyata atas kebenaran perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa bumi tidak memakan jasad para syuhada.

Selain Jabal Uhud kami juga mendatangi masjid Quba dan melewati beberapa masjid lain di antaranya masjid Qiblatain, masjid dengan dua kiblat. Saat itu tahun kedua hijriyah, Rasullah sedang memimpin shalat yang kiblatnya masih menghadap ke Baitul Maqdis (Masjidil Aqsa). Pada rakaat kedua, Rasulullah mendapat wahyu (surah Al Baqarah : 144) untuk mengubah arah kiblat ke Masjidil Haram (Ka’bah). Karena peristiwa inilah maka masjid tersebut dinamakan masjid Qiblatain.
 
Masjid Quba
Ada pula beberapa masjid kecil seperti masjid Salman al Farisi, masjid Fatah, masjid Ali, masjid Fatimah, masjid Abu Bakar, masjid Umar dan masjid Utsman. Tetapi tiga masjid terakhir yang disebutkan sudah dihancurkan. Pemandu juga menunjukkan lokasi parit sewaktu perang Khandaq yang kini berada di sekitar lampu merah. 

Setelah beberapa hari di Madinah, suatu siang selepas shalat dhuhur rombongan bersiap-siap berangkat ke Makkah sekaligus sebagai umrah yang pertama. Laki-laki sudah memakai pakaian ihram. Nantinya kami mengambil miqat di Dzul Hulaifah (Bir Ali). Perjalanan dari Bir Ali ke Makkah bisa memakan waktu enam jam naik bus. Selama perjalanan ihram itu kita disunnahkan memperbanyak lafadz talbiyah. Kata Ahmad, saat ini ada pembangunan rel kereta api yang akan menghubungkan Madinah dan Makkah. Sehingga waktu perjalanan yang ditempuh  menjadi lebih singkat.
 
Bir Ali

Kami tiba di Makkah sekitar pukul sepuluh malam. Langsung check in dan makan malam. Setelah itu menuju Masjidil Haram untuk menyelesaikan dua rukun umrah yang tersisa, thawaf dan sa’i. Selama ini Ka’bah hanya dapat saya lihat lewat layar TV yang menayangkan siaran Makkah. Tapi kini saya diberi kesempatan oleh Allah melihat Ka’bah dari dekat untuk pertama kali. Segalanya tumpah di sana. Kerinduan, doa, cinta, harap dan takut, semua tumpah di sana. Tak perlu berpanjang lebar tentang ini. Akan menjadi catatan tersendiri yang akan saya ingat seumur hidup. Menjelang pukul tiga pagi, kami menyelesaikan sa’I yang dilanjutkan dengan tahallul atau potong rambut. Umrah pertama selesai. Kami kembali ke hotel istirahat sebentar untuk persiapan shalat subuh.

Safa-Marwah
 
;