Lain waktu
kami dibawa ke Jabal Uhud, lokasi perang Uhud pada zaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Kisah perang
Uhud sudah berulang kali saya dengar dalam berbagai kesempatan, entah dalam
tarbiyah, ta’lim ataupun nasihat ketika menjadi panitia suatu kegiatan. Tapi
saat itu, Uhud bagi saya adalah sesuatu yang jauh, baik ruang maupun waktu. Saya
tak punya gambaran apapun akan tempat itu. Yang dapat saya lakukan hanya mengambil
hikmah di dalamnya. Tapi kini, saya menginjakkan kaki di atas lokasi medan
perang itu. Kini saya berdiri di tempat yang sebelumnya hanya saya baca dari
buku-buku shirah. Kini, saya melihat langsung bukit di
mana 40 pasukan pemanah ditempatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihii Wasallam yang kemudian mengabaikan perintah
beliau karena kilauan harta ghanimah. Akhirnya tersisa 10 orang yang bertahan
di atas bukit. Saya bisa membayangkan bagaimana dahsyatnya perang itu di masa
lalu. Saya bisa membayangkan bagaimana Khalid bin Walid yang kala itu belum
masuk islam, melihat peluang ketika pasukan pemanah beramai-ramai turun lalu
menyerang kaum muslimin dari belakang. Saya bisa membayangkan bagaimana paman
Nabi, Hamzah, terbunuh dalam perang tersebut. Saya bisa membayangkan bagaimana
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terluka parah dan nyaris terbunuh.
Gunung Uhud |
Area perang |
Di area bekas
tetesan darah Rasulullah yang terluka, hingga kini ada bau harum yang dapat
tercium dari jarak 30 meter. Namun karena banyaknya orang yang melakukan
kesyirikan di tempat itu, lokasi pun ditutup rapat dengan tembok batu.
Sewaktu bus melewati area tersebut, sang sopir membuka pintu mobil bagian depan.
Tiba-tiba Ahmad dan beberapa peserta yang duduk di depan mencium bau harum
seperti mawar. Masya Allah.
Ketika
terjadi banjir bandang di Madinah, seluruh jenazah para syuhada uhud mengambang
ke permukaan. Ajaibnya, jenazah mereka masih utuh seperti baru saja terjadi
peperangan dengan darah yang masih mengalir di sekujur tubuh disertai bau yang
harum. Tetapi hanya dua jenazah yang dapat dikenali. Salah satunya adalah
Hamzah, paman Rasulullah, yang dapat dikenali karena jantungnya yang hilang
diambil Hindun binti Utbah. Peristiwa ini sekaligus bukti nyata atas
kebenaran perkataan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bahwa bumi tidak memakan jasad para syuhada.
Selain Jabal
Uhud kami juga mendatangi masjid Quba dan melewati beberapa masjid lain di
antaranya masjid Qiblatain, masjid dengan dua kiblat. Saat itu tahun kedua
hijriyah, Rasullah sedang memimpin shalat yang kiblatnya masih menghadap ke
Baitul Maqdis (Masjidil Aqsa). Pada rakaat kedua, Rasulullah mendapat wahyu
(surah Al Baqarah : 144) untuk mengubah arah kiblat ke Masjidil Haram (Ka’bah).
Karena peristiwa inilah maka masjid tersebut dinamakan masjid Qiblatain.
Ada pula
beberapa masjid kecil seperti masjid Salman al Farisi, masjid Fatah,
masjid Ali, masjid Fatimah, masjid Abu Bakar, masjid Umar dan masjid Utsman.
Tetapi tiga masjid terakhir yang disebutkan sudah dihancurkan. Pemandu juga
menunjukkan lokasi parit sewaktu perang Khandaq yang kini berada di sekitar
lampu merah.
Setelah
beberapa hari di Madinah, suatu siang selepas shalat dhuhur rombongan bersiap-siap
berangkat ke Makkah sekaligus sebagai umrah yang pertama. Laki-laki sudah
memakai pakaian ihram. Nantinya kami mengambil miqat di Dzul Hulaifah (Bir
Ali). Perjalanan dari Bir Ali ke Makkah bisa memakan waktu enam jam naik bus. Selama
perjalanan ihram itu kita disunnahkan memperbanyak lafadz talbiyah. Kata Ahmad,
saat ini ada pembangunan rel kereta api yang akan menghubungkan Madinah dan
Makkah. Sehingga waktu perjalanan yang ditempuh
menjadi lebih singkat.
Kami tiba di
Makkah sekitar pukul sepuluh malam. Langsung check in dan makan malam. Setelah
itu menuju Masjidil Haram untuk menyelesaikan dua rukun umrah yang tersisa, thawaf dan sa’i. Selama ini Ka’bah hanya dapat saya lihat lewat layar TV
yang menayangkan siaran Makkah. Tapi kini saya diberi kesempatan oleh Allah melihat
Ka’bah dari dekat untuk pertama kali. Segalanya tumpah di sana. Kerinduan,
doa, cinta, harap dan takut, semua tumpah di sana. Tak perlu berpanjang lebar
tentang ini. Akan menjadi catatan tersendiri yang akan saya ingat seumur hidup.
Menjelang
pukul tiga pagi, kami menyelesaikan sa’I yang dilanjutkan dengan tahallul atau
potong rambut. Umrah pertama selesai. Kami kembali ke hotel istirahat sebentar
untuk persiapan shalat subuh.
Safa-Marwah |