Dua hari yang
lalu salah satu stasiun TV menayangkan berita penipuan yang dilakukan sebuah
travel terhadap puluhan jamaah umrah. Ngeri rasanya membayangkan sejumlah uang
yang dibawa lari pelaku. Tapi yang lebih memprihatinkan adalah perasaan para
jamaah. Mereka berniat ibadah dengan dana yang tentu tidak sedikit, tetapi justru
dijadikan kesempatan pihak lain mencuri keuntungan. Awal bulan Maret ini juga sempat
heboh oleh berita penahanan salah satu jamaah umrah Indonesia yang kedapatan
menggunting kain Ka’bah. Tak peduli sedikit atau banyak yang digunting tapi tindakannya
tetaplah pencurian.
Makkah adalah wilayah haram. Di dalamnya Allah melarang pertumpahan darah, memburu binatang, berkelahi, mencabut tanaman dan dilarang memungut barang jatuh yang bukan miliknya. Ketika berada di wilayah haram kita harus meminimalkan kesalahan walau sekecil apapun kesalahan itu. Bukan hanya perkataan atau perbuatan, niat yang terbersit di hati pun harus dijaga karena akan langsung dibalas oleh Allah saat itu juga.
Makkah adalah wilayah haram. Di dalamnya Allah melarang pertumpahan darah, memburu binatang, berkelahi, mencabut tanaman dan dilarang memungut barang jatuh yang bukan miliknya. Ketika berada di wilayah haram kita harus meminimalkan kesalahan walau sekecil apapun kesalahan itu. Bukan hanya perkataan atau perbuatan, niat yang terbersit di hati pun harus dijaga karena akan langsung dibalas oleh Allah saat itu juga.
Berbagai cerita
“ajaib” dari orang-orang yang pulang dari Tanah Haram mungkin sudah sering didengar.
Tante saya pernah cerita kejadian aneh dari pengalaman umrah sebelumnya. Ketika
memasuki Masjidil Haram, salah satu jamaah ada yang tidak bisa melihat Ka’bah. Padahal
dengan ukuran sebesar itu, orang yang rabun pun bisa lihat. Setelah diinterogasi
oleh pemandu, barulah ketahuan kalau di ikat pinggang pakaian ihramnya
dipasangi jimat yang dibawa dari kampung. Di jarinya juga ada cincin yang berfungsi
sebagai jimat. Pemandu pun menasihati orang itu tentang bahaya jimat karena dapat
menjerumuskan pelakunya pada kesyirikan. Setelah kedua benda itu dilepas,
barulah orang tersebut bisa melihat Ka’bah. Pelajaran pertama, bersihkan diri dari
hal-hal yang berbau syirik.
Tante yang
lain juga punya cerita pengalaman haji beberapa tahun lalu. Saat itu suami
tante niat bersedekah pada pengemis di tepi jalan. Ketika mengeluarkan dompet,
Tante mencegah suaminya dengan alasan bahwa pengemis itu pasti pencuri karena
tangannya terpotong. Akhirnya uang yang sudah menyembul dari dompet dimasukkan
kembali. Saat kembali ke hotel ternyata dompet itu hilang. Pelajaran kedua,
jauhi prasangka buruk. Ketiga, jika sudah niat bersedekah jangan ditunda-tunda.
Pengalaman si
Arai Wannabe sewaktu mengunjungi Makkah di sela-sela pekerjaannya di Jeddah juga
menarik disimak. Saat itu dia bergegas memburu shalat jamaah di masjid. Ketika memasuki
masjid, dia berpapasan dengan makhluk halus alias perempuan arab yang cantik
jelita. Saking cantiknya, si Arai wannabe berjalan ke depan sambil leher berputar
ke belakang karena terus menatap perempuan cantik itu. Tiba-tiba kakinya menginjak
kotoran merpati yang memang banyak berkeliaran di langit-langit masjid. Padahal
sehari-harinya lantai masjid selalu bersih, tak pernah ada kotoran merpati di
sana. Mungkin merpatinya tahu diri bahwa tidak boleh buang kotoran di dalam
masjid. Selain itu puluhan orang juga berlalu
lalang di tempat yang sama, tapi dialah yang “terpilih” menginjak kotoran
tersebut. Arai wannabe pun berjalan terpincang-pincang keluar masjid untuk
wudhu ulang. Setelah berwudhu, tiba-tiba perutnya mulas kebelet BAB. Dia pun
berlari kesana kemari mencari toilet. Keluar dari pintu toilet, ternyata shalat
jamaah sudah selesai. Dia pun tersadar sedang berada di Tanah Haram. Jadilah dia
beristigfar banyak-banyak. Pelajaran keempat, hati-hati dengan pandangan.
Sewaktu pemandu
kami mengumumkan bahwa bus telah memasuki wilayah haram, semua penumpang
langsung memperbaiki posisi duduk seperti sedang bersiap menghadapi sesuatu. Saya
sendiri dilanda perasaan deg-degan melihat tugu batas tanah haram di pinggir
jalan. Semacam rasa gugup bercampur senang memasuki wilayah itu. Tapi ada perbedaan
mencolok antara masjid Nabawi dan Masjidil Haram. Masjid Nabawi di Madinah punya
pintu masuk yang terpisah antara jamaah laki-laki dan perempuan. Privasi jadi
lebih terjaga. Selain itu ada area khusus yang disediakan untuk para lelaki menunggu
istri mereka di pelataran masjid. Bila ada yang melewati batas itu, siap-siap
ditegur petugas. Berbeda kondisinya dengan Masjidil Haram yang tidak dipisah. Laki-laki
dan perempuan dapat masuk dari pintu mana saja. Peluang berdesak-desakan dengan
lawan jenis jadi lebih besar. Belum lagi ditambah banyaknya makhluk rupawan yang
membuat mata sulit berpaling. Saya sendiri kadang mengucapkan “Masya Allah” dan
“Astagfirullah” secara berurutan karena menoleh ke kanan ketemu perempuan
cantik jelita, menoleh ke kiri ketemu pemuda tampan rupawan. Hehehe. Tapi bagaimana
pun kondisinya, upayakan meminimalkan kesalahan. Sebab keburukan meski hanya
sebesar zarrah akan dibalas tunai. Begitu pula sebaliknya.
Ada satu
pengalaman sewaktu di Madinah. Kejadiannya biasa saja, tidak ada yang aneh atau
“ajaib”, tapi akan selalu teringat. Saat itu kepala saya sedang sakit karena
sejak siang menahan kantuk setelah berziarah ke berbagai tempat. Selepas shalat
ashar, saya pulang ke hotel merebahkan diri. Menjelang maghrib, ibu mengingatkan
untuk siap-siap berangkat ke masjid. Tapi saya bilang ibu duluan saja. Saya
sudah berniat mengibarkan bendera putih karena sakit kepala itu tidak hilang
juga. Setelah Ayah dan ibu pergi, saya masih berbaring memijat kepala. Susana
kamar hening. Tiba-tiba entah dari mana seorang bocah laki-laki menggedor-gedor
kamar saya dari luar dan berteriak-teriak dengan bahasa yang tidak saya pahami.
Awalnya saya abaikan, nanti juga berhenti sendiri. Ternyata tidak. Bocah itu terus
menggedor kamar saya. Lebih tepat disebut mendobrak dibanding menggedor. Nakal amat
sih nih anak. Padahal ada banyak kamar di situ tapi kenapa sasarannya hanya kamar
saya. Dan lagi orangtuanya mana, masa anaknya dibiarkan begitu. Tiba-tiba saya
teringat bahwa saat itu adalah maghrib terakhir di Madinah, selepas shalat kami
akan berangkat ke Makkah. Jadi kepikiran, masa di saat terakhir malah tidak
shalat di masjid. Saya pun berjalan terhuyung-huyung ke kamar mandi dengan
berpegangan ke dinding. Setelah berwudhu, sakit di kepala mulai berkurang, dan menyadari
si bocah juga sudah pergi. Saat itu adzan masih berkumandang. Saya pun menyambar
kaos kaki dan bergegas keluar kamar. Di luar kamar tidak ada siapapun. Lorong hotel
sepi. Kemana anak itu, tanya saya dalam hati. Tapi tidak ada waktu mencari tahu,
saya harus segera ke masjid.
Tiba di
masjid saya mencari celah-celah kosong dan dapat tempat di sudut belakang. Di samping
kanan saya duduk seorang nenek, di samping kanan nenek itu ada kursi roda yang
terlipat. Saya tak bisa memperkirakan umur nenek yang terlihat sangat tua dan
tidak berdaya itu. Ketika shalat berjamaah, barulah saya sadar kalau nenek yang
di berdiri di samping saya tiap beberapa detik berpegangan pada kursi roda di
dekatnya. Lututnya gemetar karena berdiri cukup lama. Dengan keadaannya yang
seperti itu sebenarnya beliau sudah bisa mengambil keringanan dengan shalat
sambil duduk. Beliau juga lebih baik shalat di rumah daripada berdesak-desakan
di masjid yang bisa membahayakan jiwanya. Beberapa wanita lain yang saya
perhatikan jauh lebih lebih kuat malah memilih shalat sambil duduk. Tapi tidak
dengan nenek itu. Beliau bertahan berdiri terbungkuk-bungkuk dengan sesekali
berpegang pada kursi rodanya. Pun ketika duduk di antara dua sujud terasa jelas
si nenek menahan sakit di kakinya. Menyadari itu, pelan-pelan saya dihinggapi
rasa malu. Rasanya seperti disindir, apalah arti sakit kepalamu dibanding
kondisi yang dialami nenek itu. Kamu masih kuat, tidak perlu bantuan kursi roda,
tapi sakit kepala yang tidak seberapa saja sudah manja.
Selepas
shalat saya menatap nenek itu agak lama. Lalu menoleh kiri-kanan mencari tahu apakah
ada anggota keluarga yang menemaninya. Tapi tidak ada, nenek itu terlihat
sendirian. Beliau lalu melanjutkan shalat sunnah sambil duduk. Setelah salam
saya menyapa dan menjabat tangannya. Mengucapkan terima kasih. Nenek itu tersenyum
menjawab salam. Saya pun undur diri. Dalam perjalanan pulang, saya banyak-banyak
merenung. Tidak ada manusia yang tidak menginginkan surga. Tapi yang membedakan
adalah tingkat usaha dalam meraih surga itu. Ada yang berusaha dengan mengerahkan
seluruh tenaga, ada pula yang hanya setengah-setengah. Saya yakin usaha keras nenek
itu dalam menyempurnakan kewajiban akan diganjar dengan pahala yang
berlipat-lipat. Sebab lelah selalu berbanding lurus dengan faidah. Semoga Allah
senantiasa menjaga dan menguatkan beliau di mana pun berada.