16 March 2014

Tanah Haram

Dua hari yang lalu salah satu stasiun TV menayangkan berita penipuan yang dilakukan sebuah travel terhadap puluhan jamaah umrah. Ngeri rasanya membayangkan sejumlah uang yang dibawa lari pelaku. Tapi yang lebih memprihatinkan adalah perasaan para jamaah. Mereka berniat ibadah dengan dana yang tentu tidak sedikit, tetapi justru dijadikan kesempatan pihak lain mencuri keuntungan. Awal bulan Maret ini juga sempat heboh oleh berita penahanan salah satu jamaah umrah Indonesia yang kedapatan menggunting kain Ka’bah. Tak peduli sedikit atau banyak yang digunting tapi tindakannya tetaplah pencurian.
  
Makkah adalah wilayah haram. Di dalamnya Allah melarang pertumpahan darah, memburu binatang, berkelahi, mencabut tanaman dan dilarang memungut barang jatuh yang bukan miliknya. Ketika berada di wilayah haram kita harus meminimalkan kesalahan walau sekecil apapun kesalahan itu. Bukan hanya perkataan atau perbuatan, niat yang terbersit di hati pun harus dijaga karena akan langsung dibalas oleh Allah saat itu juga.

Berbagai cerita “ajaib” dari orang-orang yang pulang dari Tanah Haram mungkin sudah sering didengar. Tante saya pernah cerita kejadian aneh dari pengalaman umrah sebelumnya. Ketika memasuki Masjidil Haram, salah satu jamaah ada yang tidak bisa melihat Ka’bah. Padahal dengan ukuran sebesar itu, orang yang rabun pun bisa lihat. Setelah diinterogasi oleh pemandu, barulah ketahuan kalau di ikat pinggang pakaian ihramnya dipasangi jimat yang dibawa dari kampung. Di jarinya juga ada cincin yang berfungsi sebagai jimat. Pemandu pun menasihati orang itu tentang bahaya jimat karena dapat menjerumuskan pelakunya pada kesyirikan. Setelah kedua benda itu dilepas, barulah orang tersebut bisa melihat Ka’bah. Pelajaran pertama, bersihkan diri dari hal-hal yang berbau syirik.

Tante yang lain juga punya cerita pengalaman haji beberapa tahun lalu. Saat itu suami tante niat bersedekah pada pengemis di tepi jalan. Ketika mengeluarkan dompet, Tante mencegah suaminya dengan alasan bahwa pengemis itu pasti pencuri karena tangannya terpotong. Akhirnya uang yang sudah menyembul dari dompet dimasukkan kembali. Saat kembali ke hotel ternyata dompet itu hilang. Pelajaran kedua, jauhi prasangka buruk. Ketiga, jika sudah niat bersedekah jangan ditunda-tunda. 

Pengalaman si Arai Wannabe sewaktu mengunjungi Makkah di sela-sela pekerjaannya di Jeddah juga menarik disimak. Saat itu dia bergegas memburu shalat jamaah di masjid. Ketika memasuki masjid, dia berpapasan dengan makhluk halus alias perempuan arab yang cantik jelita. Saking cantiknya, si Arai wannabe berjalan ke depan sambil leher berputar ke belakang karena terus menatap perempuan cantik itu. Tiba-tiba kakinya menginjak kotoran merpati yang memang banyak berkeliaran di langit-langit masjid. Padahal sehari-harinya lantai masjid selalu bersih, tak pernah ada kotoran merpati di sana. Mungkin merpatinya tahu diri bahwa tidak boleh buang kotoran di dalam masjid.  Selain itu puluhan orang juga berlalu lalang di tempat yang sama, tapi dialah yang “terpilih” menginjak kotoran tersebut. Arai wannabe pun berjalan terpincang-pincang keluar masjid untuk wudhu ulang. Setelah berwudhu, tiba-tiba perutnya mulas kebelet BAB. Dia pun berlari kesana kemari mencari toilet. Keluar dari pintu toilet, ternyata shalat jamaah sudah selesai. Dia pun tersadar sedang berada di Tanah Haram. Jadilah dia beristigfar banyak-banyak. Pelajaran keempat, hati-hati dengan pandangan.

Sewaktu pemandu kami mengumumkan bahwa bus telah memasuki wilayah haram, semua penumpang langsung memperbaiki posisi duduk seperti sedang bersiap menghadapi sesuatu. Saya sendiri dilanda perasaan deg-degan melihat tugu batas tanah haram di pinggir jalan. Semacam rasa gugup bercampur senang memasuki wilayah itu. Tapi ada perbedaan mencolok antara masjid Nabawi dan Masjidil Haram. Masjid Nabawi di Madinah punya pintu masuk yang terpisah antara jamaah laki-laki dan perempuan. Privasi jadi lebih terjaga. Selain itu ada area khusus yang disediakan untuk para lelaki menunggu istri mereka di pelataran masjid. Bila ada yang melewati batas itu, siap-siap ditegur petugas. Berbeda kondisinya dengan Masjidil Haram yang tidak dipisah. Laki-laki dan perempuan dapat masuk dari pintu mana saja. Peluang berdesak-desakan dengan lawan jenis jadi lebih besar. Belum lagi ditambah banyaknya makhluk rupawan yang membuat mata sulit berpaling. Saya sendiri kadang mengucapkan “Masya Allah” dan “Astagfirullah” secara berurutan karena menoleh ke kanan ketemu perempuan cantik jelita, menoleh ke kiri ketemu pemuda tampan rupawan. Hehehe. Tapi bagaimana pun kondisinya, upayakan meminimalkan kesalahan. Sebab keburukan meski hanya sebesar zarrah akan dibalas tunai. Begitu pula sebaliknya.

Ada satu pengalaman sewaktu di Madinah. Kejadiannya biasa saja, tidak ada yang aneh atau “ajaib”, tapi akan selalu teringat. Saat itu kepala saya sedang sakit karena sejak siang menahan kantuk setelah berziarah ke berbagai tempat. Selepas shalat ashar, saya pulang ke hotel merebahkan diri. Menjelang maghrib, ibu mengingatkan untuk siap-siap berangkat ke masjid. Tapi saya bilang ibu duluan saja. Saya sudah berniat mengibarkan bendera putih karena sakit kepala itu tidak hilang juga. Setelah Ayah dan ibu pergi, saya masih berbaring memijat kepala. Susana kamar hening. Tiba-tiba entah dari mana seorang bocah laki-laki menggedor-gedor kamar saya dari luar dan berteriak-teriak dengan bahasa yang tidak saya pahami. Awalnya saya abaikan, nanti juga berhenti sendiri. Ternyata tidak. Bocah itu terus menggedor kamar saya. Lebih tepat disebut mendobrak dibanding menggedor. Nakal amat sih nih anak. Padahal ada banyak kamar di situ tapi kenapa sasarannya hanya kamar saya. Dan lagi orangtuanya mana, masa anaknya dibiarkan begitu. Tiba-tiba saya teringat bahwa saat itu adalah maghrib terakhir di Madinah, selepas shalat kami akan berangkat ke Makkah. Jadi kepikiran, masa di saat terakhir malah tidak shalat di masjid. Saya pun berjalan terhuyung-huyung ke kamar mandi dengan berpegangan ke dinding. Setelah berwudhu, sakit di kepala mulai berkurang, dan menyadari si bocah juga sudah pergi. Saat itu adzan masih berkumandang. Saya pun menyambar kaos kaki dan bergegas keluar kamar. Di luar kamar tidak ada siapapun. Lorong hotel sepi. Kemana anak itu, tanya saya dalam hati. Tapi tidak ada waktu mencari tahu, saya harus segera ke masjid. 

Tiba di masjid saya mencari celah-celah kosong dan dapat tempat di sudut belakang. Di samping kanan saya duduk seorang nenek, di samping kanan nenek itu ada kursi roda yang terlipat. Saya tak bisa memperkirakan umur nenek yang terlihat sangat tua dan tidak berdaya itu. Ketika shalat berjamaah, barulah saya sadar kalau nenek yang di berdiri di samping saya tiap beberapa detik berpegangan pada kursi roda di dekatnya. Lututnya gemetar karena berdiri cukup lama. Dengan keadaannya yang seperti itu sebenarnya beliau sudah bisa mengambil keringanan dengan shalat sambil duduk. Beliau juga lebih baik shalat di rumah daripada berdesak-desakan di masjid yang bisa membahayakan jiwanya. Beberapa wanita lain yang saya perhatikan jauh lebih lebih kuat malah memilih shalat sambil duduk. Tapi tidak dengan nenek itu. Beliau bertahan berdiri terbungkuk-bungkuk dengan sesekali berpegang pada kursi rodanya. Pun ketika duduk di antara dua sujud terasa jelas si nenek menahan sakit di kakinya. Menyadari itu, pelan-pelan saya dihinggapi rasa malu. Rasanya seperti disindir, apalah arti sakit kepalamu dibanding kondisi yang dialami nenek itu. Kamu masih kuat, tidak perlu bantuan kursi roda, tapi sakit kepala yang tidak seberapa saja sudah manja. 

Selepas shalat saya menatap nenek itu agak lama. Lalu menoleh kiri-kanan mencari tahu apakah ada anggota keluarga yang menemaninya. Tapi tidak ada, nenek itu terlihat sendirian. Beliau lalu melanjutkan shalat sunnah sambil duduk. Setelah salam saya menyapa dan menjabat tangannya. Mengucapkan terima kasih. Nenek itu tersenyum menjawab salam. Saya pun undur diri. Dalam perjalanan pulang, saya banyak-banyak merenung. Tidak ada manusia yang tidak menginginkan surga. Tapi yang membedakan adalah tingkat usaha dalam meraih surga itu. Ada yang berusaha dengan mengerahkan seluruh tenaga, ada pula yang hanya setengah-setengah. Saya yakin usaha keras nenek itu dalam menyempurnakan kewajiban akan diganjar dengan pahala yang berlipat-lipat. Sebab lelah selalu berbanding lurus dengan faidah. Semoga Allah senantiasa menjaga dan menguatkan beliau di mana pun berada.
 
;