Lukisan itu bersandar di sudut kamar. Bingkainya berwarna
hitam dengan sudut-sudut dilapisi kertas. Berhari-hari kubiarkan seperti itu, hingga
debu halus mulai menyelimutinya. Sesekali kupandangi lekat-lekat sambil
menyesap teh. Begitu dekat jaraknya dariku, namun begitu jauh dari jangkauanku.
Bulan-bulan berlalu, debu mengendap semakin tebal. Kuambil selembar kain, kubersihkan,
lalu kumasukkan ke dalam kantong kertas. Kubawa pada seorang kenalan yang akan
berangkat ke kota lain. Ia boleh menyimpan atau memberikannya, kataku padanya. Siapapun
tak masalah. Kemana pun tak masalah. Heran ia menerima, tapi tak juga berpanjang
tanya. Sudut kamarku pun kosong. Lukisan itu sudah tidak ada. Tak perlu lagi kuhabiskan
waku menatap begitu lama. Pagi berjalan seperti biasa. Kubuka jendela, kurapikan
buku, kusetrika baju, kuseduh segelas teh dan menyesapnya pelan-pelan. Kulirik kembali
sudut itu, mengingat jejaknya sewaktu masih ada. Cukup lama. Cukup lama.
Pembeli : Berapa harga kepala
kambing ini ?
Penjual : Lima puluh afgani
Pembeli : Lima puluh? Terlalu mahal! Dua puluh saja.
Penjual : Apa? Dua puluh afgani? Kamu Gila? Kamu kira ini kepala manusia ?
~Lelucon Kandahar~
Penjual : Lima puluh afgani
Pembeli : Lima puluh? Terlalu mahal! Dua puluh saja.
Penjual : Apa? Dua puluh afgani? Kamu Gila? Kamu kira ini kepala manusia ?
~Lelucon Kandahar~
Ketika harga tiket pesawat didiskon setengah harga, ditambah tawaran “pengalaman
tak terlupakan” dari agen-agen perjalanan, orang-orang pun antusias melakukan
perjalanan ke berbagai tempat, berwisata mengumpulkan foto-foto dan membukukan
kisah-kisah mereka. Namanya juga wisata, tempat yang dikunjungi tentulah tempat
yang indah dengan panorama yang eksotis. Tempat yang mampu membuat siapapun bersantai
menikmati tiap detik perjalanan. Tapi bagaimana bila tempat itu bernama Afghanistan
? Hm, sepertinya bukan plihan yang bagus. Sebab selain kamera, buku jurnal,
ransel, paspor dan uang, dibutuhkan bekal keberanian untuk memasuki negara ini.
Hebatnya lagi si penulis, Agustinus Wibowo, memulai petualangannya dari Beijing
ke Afghanistan dan Asia Tengah menggunakan jalur darat dan tinggal selama
beberapa tahun di sana.
Negara konflik, mungkin itu yang muncul di benak bila mendengar Afghanistan.
Walaupun saya tak tahu pasti konflik macam apa lagi yang terjadi di sana selain
perang melawan Rusia dan invasi Amerika Serikat. Tapi sejak bergolak pada tahun
2001, negara tersebut telah identik dengan bom dan kekacauan. Saat ini Afghanistan
hanya terdengar sambil lalu atau sesekali nyelip di ragam berita dunia. Itu pun
tak jauh-jauh dari bom bunuh diri dan sejenisnya. Negeri ini, seperti yang
diungkapkan penulis, menyimpan misteri di balik selimut debu yang tebal. Jadi,
apa yang sebenarnya si penulis cari di tempat yang panas dan berdebu itu ?
Lewat buku ini kita bisa mengintip sisi-sisi kehidupan Afghanistan yang ternyata
menyimpan warna-warni di balik selimutnya. Ada yang lucu, ironis dan
mengejutkan. Beberapa kenyataan yang ditemui dalam buku membuat saya kerap
bertanya, Masa sih ? Masa sih ?
Afghanistan tak hanya identik dengan perang, tapi juga hashish. Cheras. Ganja. Di Afghanistan, posisi ganja dan candu hanya setingkat rokok kretek di Indonesia. Afghanistan
juga terkenal dengan permadaninya. Seorang turis Jepang yang meneliti ragam
karpet Asia Tengah menyebutkan bahwa tak ada karpet yang lebih baik dari
permadani Afghanistan.
Agustinus memaparkan detil Afghanistan mulai dari bahasa, suku-suku, beda
corak pakaian antara suku satu dan lainnya, beda Sunni dan Syiah terkait Ali
bin Abi Thalib hingga peradaban Bamiyan ratusan tahun lalu yang kini telah
runtuh. Ada tribal area di perbatasan
Afghanistan-Pakistan bernama Darra Adam Khel, sebuah desa di mana orang bebas
membeli dan mencoba berbagai model senjata api mulai dari Kalashnikov sampai
pulpen yang bisa menembak. Desa ini tak pernah sepi dari rentetan bunyi
tembakan. Seluruh penduduk, baik langsung atau tidak langsung, terlibat dalam
bisnis pembuatan dan penjualan senjata. Anak umur sepuluh tahun sudah
mencangklong besi untuk pegangan bedil serta mempelajari model yang bakal laku
di pasaran. Mainan bocah-bocah di sana bukan kelereng, melainkan selongsong
peluru.
Penulis juga merekam berbagai ironi seperti orang-orang asing yang
mengaku sebagai pekerja sosial di Afghanistan tetapi justru berjarak dengan
penduduk setempat. Pekerja sosial itu malah melewatkan malam di Kabul dengan
gemerlap ala Eropa ditemani botol-botol wiski dan vodka. Juga sejumput
kemegahan bernama Kabul City Center, sebuah pusat perbelanjaan termewah di Afghanistan,
berdiri megah di antara pemukiman kumuh dan runtuhan bangunan.
Ironi lain yang menarik disimak adalah pendapat Nancy Hatch Dupree, seorang
nenek usia delapan puluhan tahun berkewarganegaraan Amerika Serikat namun
mengabdikan diri di Afghanistan. Nancy mengungkapkan bahwa orang Afghan adalah
manusia paling ramah di dunia. Tapi keramahtamahan itu sering disalahgunakan
oleh pendatang. Turis-turis enggan menghiraukan kultur setempat seperti memakai
pakaian tipis dan tembus pandang. Seorang pemilik toko pernah menolong hippie yang terlunta-lunta di jalan.
keesokan harinya turis tersebut sudah raib bersama seluruh dagangannya. Para pendatang
dari negeri yang katanya kaya, maju dan “beradab” malah memanfaatkan penduduk
setempat yang telah rela mengorbankan perut dan nyawa demi menolong musafir.
Nancy juga kerap mengkritik para ahli gender mancanegara yang menyerbu Afghanistan
dengan setumpuk program tanpa lebih dahulu memahami nilai-nilai kemasyarakatan.
Kesetaraan gender sudah ada dan hidup dalam masyarakat tradisional afghan, kata
Nancy. Tak perlu mendatangkan konsep asing yang justru bertubrukan dengan nilai
yang mereka anut.
Dilanda perang bertahun-tahun membuat negeri ini penuh dengan
orang-orang cacat. Ranjau bekas perang tak henti menelan korban tiap harinya. Ada
yang kehilangan tungkai kaki, lengan, hingga lumpuh total. Jalan raya dipenuhi
janda-janda berbalut burqa yang mengais belas kasihan sepanjang hari. Lapangan pekerjaan
tak banyak tersedia. Anak kecil pun harus turun tangan membantu ekonomi
keluarga. Bocah sepuluh tahun sudah jadi pelayan kedai teh, menyemir sepatu, membersihkan
kaca mobil dan jualan permen.
Hal yang mengejutkan dari Afghanistan
adalah masalah playboy, dalam artian play with boy. Dikenal dengan istilah bachabazi, bacha artinya “bocah laki-laki” dan bazi artinya “bermain”. Bachabazi
adalah kultur orang Uzbek di Afghanistan. Saat Taliban berkuasa, pelaku hubungan
sejenis dihukum dengan diambruki tembok. Taliban tidak memberi ampun sedikit pun
terhadap homoseksualitas, apalagi pemerkosaan terhadap perempuan. Candu dilarang
dan kriminalitas ditumpas. Burqa
adalah pakaian wajib bagi wanita. Mereka dilarang keras berkeliran di jalan
tanpa ditemani lelaki anggota keluarga.
Benak orang-orang ketika melihat wanita Afghan adalah bahwa betapa
malangnya perempuan Afghanistan, tak ada kebebasan, tak ada kemerdekaan. Bush lalu
menghujani negeri itu dengan roket, katanya untuk membebaskan rakyat Afghan,
tapi di saat bersamaan justru menciptakan jutaan janda dan anak yatim piatu.
Laura Bush pun ikut berkomentar bahwa serangan militer di Afghanistan telah
berhasil sehingga perempuan tidak lagi terpenjara dalam rumahnya.
Saat Taliban jatuh, media beramai-ramai menampilkan gambar perempuan
Afghan yang melepas burqa dan bebas menyusuri jalanan kota Kabul. Kenyataannya,
sebagian besar perempuan Afghan masih lebih nyaman berselimut burqa. Wanita-wanita
yang memakai burqa masih saja ramai menyelimuti kota Kabul. Mereka tak dikenali
laki-laki di jalan. Hidup dalam lindungan total suami yang selalu mengawal.
Foto bergambar wanita Malaysia yang sibuk bekerja di sawah dan pabrik
bukannya mengundang kagum wanita Afghan, malah membuat mereka jatuh kasihan. Aduh
kasihan perempuan Malaysia harus kerja, aduh kasihan kenapa para suami tidak
bekerja untuk mereka, aduh kasihan betul. Begitu kata mereka. Wanita adalah
barang berharga yang harus dilindungi, dijaga dan dirawat. Burqa adalah salah
satu alatnya. Bagi orang Pasthun, zan
(wanita) adalah kehormatan bagi laki-laki. Jangankan bisa melihat wajah, nama
perempuan pun terlalu berharga untuk disebut.
Di negeri perang, ledakan bom, penembakan dan penculikan bukan lagi
berita istimewa. Tingkatannya sudah turun seperti berita maling ayam di
Indonesia. Selama bukan anggota keluarga yang jadi korban, orang-orang sudah
kebal dan mati rasa terhadap berita semacam itu. Korban-korban hanya diberitakan
dalam bentuk angka. Jika berita kecelakaan pesawat di Indonesia menampilkan
nama-nama korban, di Afghanistan sana, korban-korban ledakan atau tembakan
hanya berupa angka tanpa nama, berapa jumlah koban dan pukul berapa kejadian.
Di negeri perang, anak sekolah belajar penjumlahan bukan dengan 1
kelereng + 2 kelereng =…, tapi “1 kalashnikov + 2 kalashnikov =…”. Atau “Jika
saya membunuh tiga Rusia, kamu membunuh dua Rusia, berapa Rusia yang kita bunuh
?”
Tapi di negeri perang sekalipun, ada surga tersembunyi bernama Lembah Wakhan.
Lebih dari delapan abad yang lalu Marco Polo pernah berada di sana. Di tempat yang
kebersihan udaranya membersihkan relung hati manusia manapun, gemercik airnya
membawa kehidupan bagi semua makhluk, serta gunung-gunung yang saking tingginya
bahkan burung pun tak mampu mencapai puncaknya.
Daya
tarik buku ini adalah, apa lagi kalau bukan foto-fotonya. Beragam foto yang
ditampilkan cukup untuk menggambarkan kondisi kehidupan di Afghanistan. Mulai dari
foto masjid Shahe Do Shamsera yang dikerubungi ratusan burung-burung, foto
Mazar-e-Sharif yang diyakini orang Syiah sebagai makam Ali bin Abi Thalib, foto
bocah-bocah yang sedang mandi sambil tertawa riang, foto orang-orang yang
berkaki palsu, foto bayi yang mengalami malnutrisi, foto para gadis cantik nan
jelita hingga foto danau Band-e-Amir yang berwarna biru jernih. Begitu lengkap
dalam satu buku. Bacalah, dan kita akan melihat sisi lain Afganistan di balik
selimut debu.
Subscribe to:
Posts (Atom)