09 October 2011

Buku Yang Membunuh

Dr. ‘Aidh Al Qarni mengatakan bahwa seseorang bisa terbunuh karena sebuah tulisan atau sebuah novel. Saya tidak tahu apa kata terbunuh di sini adalah arti yang sebenarnya atau hanya kiasan. Saya sempat googling tentang buku yang bisa membunuh dan ternyata ada sebuah buku yang cukup ramai dibicarakan beberapa tahun lalu. Buku itu disebut sebagai buku yang membunuh karena Mark David Chapman meminta John Lennon menandatangani kopi buku tersebut pada pagi hari sebelum ia menembak mati bekas personel The Beatles itu beberapa jam kemudian. Disebutkan pula bahwa John Hinckley, si penembak Presiden Ronald Reagan, mengaku mendapatkan inspirasi aksinya dari buku yang sama selain kasmarannya pada Jodie Foster. Tentu saja saya kaget karena saya pun pernah membaca buku ini tiga bulan yang lalu dan baru tahu kontroversinya kemarin, saat sedang keluyuran di dunia maya.

Buku itu adalah sebuah novel psikologi berjudul Catcher In The Rye. Saat pertama kali melihat, saya tidak begitu tertarik membacanya karena dari sampul saja sudah bergambar mata satu, ciri khas zionis dan ternyata penulisnya memang adalah keturunan Yahudi. Tapi karena teman saya sangat pintar berpromosi bahwa novel itu bagus untuk dibaca jadi berpindah tanganlah novel tersebut sementara waktu. Novel ini pertama kali diterbitkan di Amerika tahun 1951 dan sempat dilarang beredar karena dianggap memicu pembacanya untuk bertindak kriminal (na'udzubillah).

Buku ini menceritakan tentang masa-masa labil remaja Amerika yang mencari identitas diri. Kesan saya di awal-awal membaca buku ini adalah bahwa  si Holden (tokoh utama) membenci dunia dan orang-orang sekitarnya. Sepanjang buku ini kita akan disuguhi monolog berupa umpatan dan caci maki Holden pada teman sekamarnya, gurunya, teman klub, perempuan, film, dll. Walau begitu akhir ceritanya memang menyentuh. Sebenarnya membaca novel ini membuat saya berkaca pada kehidupan masa remaja. Meski kehidupan remaja Amerika sangat berbeda dengan remaja Indonesia tapi mereka mempunyai persamaan yaitu sama-sama masa yang penuh emosi, mimpi, kelabilan, pemberontakan dan pencarian identitas. Masa remaja adalah masa yang paling merepotkan. Setelah membaca novel ini, saya harus 'menetralisir' suasana yang tadinya penuh dengan kesinisan dengan membaca kembali Sang Pemimpi-nya abang Ikal yang bernuansa semangat, menghargai dan kehangatan. Ibarat hitam dan putih, kupikir buku pun begitu, ada buku yang bisa membuatmu hidup dan ada pula buku yang membuatmu serasa mati.

Ngomong-ngomong ada lagi sebuah novel thriller terjemahan keluaran tahun 2003 yang baru-baru saya khatamkan berjudul The Devil’s DNA. Dan bukunya sukses membuat saya “terbunuh”. Berhari-hari saya berusaha menyelesikannya tapi tidak sempat karena tugas yang menumpuk dan berhubung kemarin saya seharian di rumah teman, begitu bangun sampai menjelang maghrib, buku itu terus berada di tangan saya. Andai dia bisa bicara mungkin dia akan berteriak karena sesak napas.

Sebenarnya, saya kadang agak malas membaca novel luar negeri karena meski sudah diterjemahkan saya masih saja tidak paham. Di samping karena otak saya yang lemot ibarat pentium dua kena petir, orang barat juga mempunyai budaya, tontonan, kebiasaan, gaya bahasa bahkan lelucon yang tidak saya pahami. Ini sangat berbeda dengan penulis dalam negeri. Ketika hampir menyelesaikan bagian epilognya, rasanya seluruh isi lambung saya merangkak naik ke kerongkongan. Pengen muntah rasanya. Sudah ceritanya yang berliku-liku, akhir yang tak terduga, ditambah lagi bahasa yang berat benar-benar membuat kepala saya pening.

Tapi harus saya akui, mereka memang hebat dalam menulis. Mampu merangkai peristiwa, menggabungkan kriminal dengan psikologi, dan akhir yang tak bisa ditebak bahkan dalam beberapa novel terkesan menggantung. Seperti memberi pesan pada pembaca bahwa kejahatan tidak akan pernah selesai dan masih banyak orang gila tak kasat mata yang berkeliaran di luar sana. Bisa jadi orang gila itu adalah teman kuliahmu, suamimu, atasanmu, pembantumu atau mungkin salah satu anggota keluargamu sendiri. Membaca novel thriller memang bisa membuat seseorang paranoid dan sebagian orang gila malah terinspirasi karenanya. Mereka membawa alur fiksi itu ke dunia realita, dan akhirnya terjadilah kejahatan yang mengerikan. Sehingga benarlah kata Dr. 'Aidh Al-Qarni bahwa banyak orang yang terbunuh karena sebuah tulisan atau novel. Tapi sekali lagi, ini buatan orang Amerika. Di sana memang banyak orang gila. Dan semoga kegilaan itu tidak menular ke Indonesia. Eh, tapi ngomong-ngomong masalah kesadisan dan kegilaan, katanya orang Asia jauh lebih mengerikan dibanding orang Amerika atau Eropa. Entah ini benar atau tidak.
 
;