Angin berhembus di sisi jendela, membawa debu halus mengisi ruas-ruas kamar. Pelan kubuka kelopak mata. Samar kutatap langit kamar, laba-laba berjuang menyulam istana, melawan gravitasi. Burung-burung kertas tergantung didekatnya, berputar diolok-olok angin. Di bawahnya berdiri cermin yang retak tiga tahun lalu. Kulihat pantulan bayang di dalamnya, berantakan tak berbentuk. Berapa lama aku terbaring di sini ? Sehari ? Seminggu ? Berapa purnama yang terlewati ? Entahlah, detik-detik berguguran tak terhitung.
Aku ingin keluar. Aku harus keluar. Kulempar buku yang sesak napas dalam genggamanku. Ia membentur dinding, mengerang kesakitan di sudut kamar. Kuseret langkah menelusuri lorong-lorong tanpa cahaya lampu. Kuputar gagang pintu. Berharap. Sia-sia. Tak ada apapun di sana. Langit telah kehilangan matahari. Awan berdarah disayat senja. Hari meregang nyawa, pasrah diseret waktu ke lubang kematian. Menyisakan nisan kenangan. Kulintasi lagi lorong kamar yang semakin mengelam. Kukunci kamar dan kuraih buku itu kembali. Kupaksa ia menemaniku tenggelam bersama malam, yang belum berhenti merekatkan pecahan-pecahan gelap.
Aku ingin keluar. Aku harus keluar. Kulempar buku yang sesak napas dalam genggamanku. Ia membentur dinding, mengerang kesakitan di sudut kamar. Kuseret langkah menelusuri lorong-lorong tanpa cahaya lampu. Kuputar gagang pintu. Berharap. Sia-sia. Tak ada apapun di sana. Langit telah kehilangan matahari. Awan berdarah disayat senja. Hari meregang nyawa, pasrah diseret waktu ke lubang kematian. Menyisakan nisan kenangan. Kulintasi lagi lorong kamar yang semakin mengelam. Kukunci kamar dan kuraih buku itu kembali. Kupaksa ia menemaniku tenggelam bersama malam, yang belum berhenti merekatkan pecahan-pecahan gelap.