20 October 2011

Pantun dan Masa Kecil

Masa kanak-kanak bukan karena dilahirkan bagi usia tertentu dan pada usia tertentu
anak bertumbuh, dan meninggalkan hal-hal kekanakan. Masa kanak-kanak serupa
kerajaan di mana tak ada yang meninggal

-Edna St. Vincent Millay-

Masa kecil yang bisa saya ingat adalah sebuah pulau yang terpisah dari ibu kota kabupaten dan dijuluki sebagai pusat hal-hal mistis. Saya pertama kali diajari membaca bukan lewat buku-buku pelajaran sekolah tapi dari kaleng-kaleng mentega dan buku-buku sastra milik ayah yang tersimpan dalam peti kayunya. Buku-buku pelajaran di rumah ada banyak tapi saya lebih tertarik membaca tulisan yang ada di kaleng susu, kaleng mentega, kaleng biskuit dan kardus-kardus mie goreng. Jika bulan sedang purnama, ayah biasanya mengajak saya dan adik jalan-jalan keluar entah hanya untuk beli gula, teh, garam di warung yang terletak di ujung desa atau hanya mengukur jalan ke tepi pantai. Saat berjalan dan menatap rembulan itulah ayah akan bercelutuk begini :

Terang bulan terang di kali
Buaya timbul kusangka mati
Jangan percaya mulut lelaki
Berani sumpah takut mati

Saya tidak sepenuhnya paham maksud kalimat-kalimat yang ayah katakan, tapi saya kagum karena pertama, setiap kalimatnya selalu diakhiri huruf “i”. Kedua, di awal kalimat disebutkan tentang bulan dan kali (sungai). Jika menyebutkan dua hal ini saya selalu teringat gambar Kabayan dalam buku-buku cerita lama yang diilustrasikan dengan bulan purnama, sungai, sawah dan seorang lelaki bersarung. “Itu disebut pantun”, kata ayah saat ditanya tentang kalimat-kalimat tadi. Itulah saat pertama kali saya mendengar istilah pantun. Bagi saya, gambar Kabayan yang bersarung dengan rembulan, sungai dan sawah adalah representasi pantun yang disebutkan ayah. Setelahnya ayah akan menyuruh saya menuliskan pantun tadi. Begitulah cara ayah mengajari saya baca tulis. Beberapa waktu kemudian ayah masih menyebutkan pantun-pantun lain seperti :

Kalau ada sumur di ladang
Bolehlah kita menumpang mandi
Kalau ada umur panjang
Semoga kita berjumpa lagi

Elok rupanya si kumbang jati
Dibawa itik pulang petang
Tidak terkata besar hati
Melihat ibu sudah pulang

Kalau ada jarum patah
Jangan dimasukkan ke dalam peti
Kalau ada kataku yang salah
Jangan dimasukkan ke dalam hati
 
;