Malam itu adalah malam terakhir di kota kecilku. Sudah sepekan lebih aku menghabiskan waktu bersama keluarga untuk merayakan Id Adha. Sepulang dari acara syukuran kelulusan seorang teman, kularikan motor ke arah barat, melewati toko milik orang-orang Tionghoa, berbelok di pertigaan lapangan, melintasi patung pejuang yang telah puluhan tahun berdiri dan terakhir belok kanan, masuk ke gerbang dermaga. Area sekitar dermaga dibatasi pagar besi. Sejak awal, aku memang sudah berencana mengunjungi dermaga itu sebelum kembali lagi ke kota ini.
Dermaga itu gelap dan sepi, hanya satu dua orang berlalu lalang. Setelah melewati pos jaga, aku meninggalkan motor di sisi kanan jalan. Jauh di seberang laut, pulau Gusung berkelap-kelip oleh cahaya lampu. Pulau itu terlihat indah di malam hari. Lalu apa yang kucari di sana ? Hanya menemui kawan lama. Sebuah benda bulat yang mengambang di angkasa. Yang mengisi kekosongan ketika langit dirantai gelap. Tergantung sempurna ribuan mil dari tempatku berdiri. Samar seperti dilapisi kabut. Bulan.
Dermaga itu adalah tempat yang paling tepat menikmati bulan saat fase purnama penuh, terutama ketika baru muncul di atas cakrawala. Laut seperti dicelup tinta hitam, kemudian menjelma menjadi cermin saat disiram rembulan. Laut dan langit malam adalah perpaduan lukisan yang menakjubkan. Indah, magis dan dingin. Berada di antara lukisan alam itu, membuatku seperti tersedot ke tempat yang jauh. Seperti dihisap sebuah Black Hole, melesat meninggalkan bima sakti dan terdampar di galaksi lain. Meski kenyataannya, aku masih terparkir di antara nelayan yang bersiap mengarungi laut bersama dinginnya malam. Kenyataannya, kakiku tak pernah beranjak dari tempat itu. Masih di antara orang-orang memandang langit dari geledak kapal, meraba-raba cuaca. Jauh di langit utara, petir menyemburkan cabang-cabang listrik ribuan volt, melukis angkasa dengan cahaya putih berkilau.
Aku berdiri di bibir dermaga, memandang laut yang pekat. Dua meter di bawah sana, karang-karang dibelai lembut riak laut. Tak ada gemuruh ombak, semuanya tenang, dan dingin. Bahkan orang-orang yang melintas pun tak bersuara. Aku menengadah menatap langit. Lalu, sebuah percakapan yang ditinggalkan waktu, muncul di antara riak-riak air. Sebuah enigma.