Kalau BBM naik, demonstrasi…
Ada tokoh kalah dalam pemilihan, demonstrasi…
Gaji tak kunjung naik, demonstrasi…
Keputusan pemerintah dianggap kurang tepat, demonstrasi…
Indonesia mulai akrab dengan aksi demonstrasi menjelang detik-detik
lengsernya presiden RI ke-2 tahun 1998. Dimotori para politikus, mahasiswa,
karyawan sampai rakyat biasa, aksi demo marak digelar di berbagai tempat
khususnya di gedung pemerintahan. Bukan hanya mahasiswa saja, tetapi
gerakan-gerakan islam juga ikut andil dalam aksi ini. Sehingga banyak kalangan
menyimpulkan bahwa demonstrasi boleh-boleh saja dilakukan. Tetapi, apa benar
demonstrasi adalah solusi permasalahan di suatu negeri ? Atau tidakkah ia
menjadi polusi yang justru membawa pada kerusakan ?
Buku kecil terbitan Darul Ilmi ini ditulis oleh Abu Ubaidah Yusuf bin
Mukhtar as-Sidawi. Dengan ketebalan yang imut 175 halaman, penulis mengulas
secara ringkas bagaimana kedudukan demonstrasi dalam tinjauan islam. Sebelum
memasuki isi materi, terlebih dahulu dijelaskan tiga masalah penting terkait
pembahasan yaitu pentingnya keamanan negara, pentingnya taat kepada pemimpin dan
perbedaan demokrasi dengan islam. Materi inti dibuka dengan memaparkan secara
singkat sejarah demontrasi. Setelah itu masuk pada hukum demonstrasi beserta argumentasinya,
fatwa ulama terkait demonstrasi serta jawaban dari beberapa syubhat terkait
demonstrasi. Di penghujung buku dilengkapi solusi terbaik menghadapi fitnah.
Ada tiga masalah penting sebelum memasuki pembahasan mengenai
demonstrasi. Pertama, urgensi
keamanan negara. Keamanan merupakan kebutuhan primer suatu bangsa. Nabi Ibrahim
sendiri lebih mendahulukan keamanan dibanding pangan dalam doanya (Q.S Al
Baqarah : 126). Sebab, tak mungkin seseorang dapat menikmati kelezatan makanan bila
diselimuti kecemasan dan ketakutan. Pada bagian ini penulis juga memaparkan
beberapa kiat dalam meraih keamanan.
Kedua, urgensi taat
kepada pemimpin negara. Ada tiga perkara penting yang wajib dipikul seorang
pemimpin Negara, yaitu menegakkan agama, melawan serangan musuh dari luar yang
ingin menjajah dan mewujudkan kemanan dalam negeri. Syariat islam menekankan
pentingnya taat kepada pemimpin dalam hal yang tidak bertentangan dengan agama.
Ketidaktaatan kepada pemimpin menjadikan segala urusan berantakan. Nabi pernah
bersabda : “Aku wasiatkan kalian dengan
taqwa kepada Allah dan mendengar serta taat pada pemimpin sekalipun dia adalah
budak”.
Ada pelajaran penting yang bisa diambil dari sikap Imam Ahmad bin Hambal
tatkala sebagian kalangan berkumpul di Baghdad mengeluhkan pemerintahan
Al-Watsiq yang menyebarkan paham bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan beterus
terang bahwa mereka tidak setuju dengan kepemimpinan tersebut. Imam Ahmad yang
berdialog dengan mereka berkata, “Ingkarilah
dalam hati kalian, janganlah kalian memberontak, janganlah kalian menumpahkan
darah kaum muslimin, pikirkanlah akibat perbuatan kalian dan bersabarlah
sehingga Allah memberikan jalan keluar”.
Ketiga, perbedaan
demokrasi dan hukum islam. Demonstrasi adalah salah satu anak yang lahir dari
rahim sistem demokrasi. Menurut pencetusnya, demokrasi adalah kekuasaan rakyat,
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan jelas penulis menjawab bahwa
sistem demokrasi bertentangan dengan hukum islam ditinjau dari beberapa segi
seperti hukum dan undang-undang buatan manusia, partai dan perpecahan,
kebebasan yang melampaui batas, suara mayoritas adalah standar dan persamaan
derajat antara pria dan wanita. Terkait poin suara mayoritas adalah standar,
saya teringat kata-kata Prie GS dalam novel Ipung. Beliau berkata, demokrasi
memang berarti kedaulatan di tangan orang banyak. Tapi kalau orang banyak itu
edan semua, apa masih perlu demokrasi ?
Selanjutnya materi inti diantar dengan mengulas definisi dan sejarah
demonstrasi. Menurut Kamus Indonesia, demonstrasi diartikan sebagai
pengungkapan kemauan secara beramai-ramai baik persetujuan atau ketidaksetujuan
akan sesuatu, sambil berarak-arakan dengan membawa spanduk/panji-panji, poster
dan lain sebagainya yang berisikan tulisan yang menggambarkan tujuan
demonstrasi tersebut. Demonstrasi tidak sama dengan idzharul quwwah (unjuk kekuatan) sebagaimana kata para ulama bahwa ukuran sesuatu
itu adalah hakikatnya bukan sekadar nama belaka. Syaikh Salim bin ‘Ied
al-Hilali pernah ditanya tentang pengaburan makna tersebut. Beliau menjawab
dengan sebuah ungkapan : “Sa’ad
mengembala unta dengan berselimut. Wahai Sa’ad, bukan seperti itu cara
mengembala unta”. Demikian pula dikatakan kepada orang-orang yang unjuk
kekuatan bahwa “Wahai saudaraku, engkau ingin unjuk kekuatan tapi dengan cara
demonstrasi. Bukan seperti itu caranya unjuk kekuatan”
Demokrasi bermula dari pergolakan revolusi Perancis dengan slogan
populernya, kebebasan, persaudaraan dan persamaan. Perancis secara resmi
memasukkan demokrasi dalam UU berlabel Hak Asasi Manusia (HAM) pada tahun 1791.
Pasal 3 UU tersebut berbunyi : “Rakyat adalah sumber kekuasaan, setiap badan
dan individu berhak mengatur hukum, hukum dan hak diambil dari mereka”. Ketika
Perancis menjajah dunia termasuk Negara-negara Arab sepert Mesir, Tunisia,
Al-Jazair dan Maroko, masuk jugalah sistem demokrasi ke negeri jajahan
tersebut.
Demonstrasi merupakan masalah kontemporer yang belum dikenal di zaman
Nabi tetapi bukan berarti tidak memiliki hukum dalam kacamata syariat. Seperti
ucapan Imam Asy-Syafi’I bahwa tidak ada suatu masalah baru apapun yang menimpa
seorang yang berilmu agama, kecuali dalam Al-Qur’an telah ada jawaban dan
petunjuknya. Ada lima argumen yang dikemukakan penulis terkait tidak bolehnya
demonstrasi.
Pertama,
demonstrasi merupakan perkara baru dalam agama. Demonstrasi
sering dianggap sebagai salah satu sarana dakwah dan bagian dalam ajaran islam
padahal tidak pernah dicontohkan dan dipraktikkan oleh Nabi. Meskipun faktor
pendorong untuk melakukannya sudah ada di zaman beliau seperti penyiksaaan,
pembunuhan dan pemboikotan dari kaum Quraisy, tetapi Rasulullah beserta para
sahabat tidak pernah berdemonstrasi ke rumah Abu Jahal dan orang musyrikin
lainnya. Terkait hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan satu kaidah
penting tentang maslahat dan mafsadah, yaitu “Setiap perkara yang faktor dilakukannya ada pada zaman Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam, yang nampaknya membawa maslahat tetapi tidak
dikerjakan Nabi, maka jelas bahwa hal itu bukanlah maslahat”
Kedua,
demonstrasi termasuk tasyabbuh. Syaikh Shalih bin Fauzan berkata, “Menumbuhkan
kebencian kepada pemimpin dalam hati rakyat merupakan usaha para perusak yang
ingin membuat kekacauan di muka bumi. Orang-orang munafiq sejak dulu telah
berusaha melakukan hal ini ketika mereka ingin memisahkan kaum muslimin dari
Rasulullah, untuk membuat kekacauan pada masyarakat dengan mengatakan ‘Janganlah kamu memberikan perbelanjaan
kepada orang-orang Muhajirin yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar
(meninggalkan Rasulullah) (Q.S Al-Munafiqun : 7)’”
Ketiga,
kerusakan yang ditimbulkan demonstrasi lebih banyak. Ibnul Qayyim
berkata, “Apabila seseorang merasa kesulitan
tentang hukum suatu masalah, apakah mubah atau haram, maka hendaklah dia
melihat mafsadah (kerusakan) dan hasil yang ditimbulkan olehnya. Bila
mengandung kerusakan yang lebih besar, sangatlah mustahil syariat islam
memerintahkan atau membolehkannya bahkan keharamannya merupakan sesuatu yang
pasti…”
Sebagian orang berkata, bukankah demonstrasi ada manfaat dan maslahatnya
? Adanya manfaat bukan berarti suatu perbuatan itu pasti benar. Tetapi lihat
apakah hal itu diajarkan dalam agama atau tidak. Contohnya khamer dan judi. “Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan
judi. Katakanlah : Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya” (Q.S. Al-Baqarah
: 219). Dalam hal ini ada kaidah fiqih yang sangat terkenal yaitu “Membendung kerusakan itu lebih utama
daripada mendapatkan kebaikan”
Keempat,
menyelisihi sunnah nabi dalam menasihati pemimpin. Pemimpin
juga manusia biasa yang bisa salah. Kewajiban orang yang dipimpin adalah
menasihati dan mengingatkannya. Tetapi cara menasihati pemimpin tidak sama
dengan menasihati orang biasa. Islam punya rambu-rambu etika menasihati pemimpin
agar tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang hendak menasihati
penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia
mengambil tangannya, kemudian menyepi. Apabila penguasa itu mau menerima, maka
itulah yang dimaksud. Apabila tidak menerima, sungguh dia telah menunaikan
kewajibannya” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim, Ahmad, Hakim dishahihkan oleh syaikh
Al-Albani). Dalam riwayat Imam Bukhari-Muslim, Usamah bin Zaid pernah ditanya,
“Tidakkah engkau menemui Utsman kemudian menasihatinya ?” Beliau menjawab,
“Apakah kamu pikir saya menasihatinya harus memberitahumu ? Sungguh aku telah
menasihatinya dengan empat mata, dan tak ingin membuka rahasia.”
Kelima,
jembatan menuju pemberontakan. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang membenci sesuatu pada pemimpinnya maka hendaknya dia
bersabar, karena seorang yang keluar dari pemimpin satu jengkal saja maka dia
mati seperti matinya orang di masa jahiliyyah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menghujat dan memberontak pemimpin tidak harus dengan senjata tetapi mencakup
segala sarana yang menuju hal tersebut seperti mencela, menyebarkan kejelekan
pemimpin, termasuk pula demosntrasi sebab manusia tidak akan memberontak pemimpin
tanpa ada yang menyalakan api kebencian.
Menurut Al-hafidz Ibnu Hajar, faktor utama terbunuhnya Utsman adalah
celaan kepada para gubernurnya, yang secara otomatis kepada beliau juga sebagai
yang mengangkat gubernur. Syaikh Shalih as-Sadlan pun berkata bahwa memberontak
memang bukan hanya dengan senjata, tapi juga dengan kata-kata seperti tulisan
di media, kaset ceramah, seminar yang isinya mengompori untuk memberontak.
Bagian tengah buku ini mengangkat fatwa-fatwa ulama tentang demonstrasi
mulai dari fatwa Lajnah Da’imah Sudi Arabia, fatwa Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz,
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan dan
murid-murid Syaikh Al-Albani. Inti dari fatwa-fatwa tersebut adalah tidak
bolehnya melakukan demonstrasi karena bukan cara yang disyariatkan islam dan
bukan pula solusi yang benar dalam memperbaiki dakwah. Selain itu ada beberapa syubhat yang dibahas seputar demonstrasi beserta
jawaban syubat tersebut.
Syubhat pertama
: Demonstrasi merupakan jihad. Jawaban : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
menjelaskan bahwa Al Qur’an dan sunnah penuh perintah jihad dan keutamaannya.
Tetapi harus dibedakan antara jihad syar’i yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya
dengan jihad bid’ah. Tidak semua peperangan merupakan jihad syar’i seperti
jawaban Sa’ad bin Abi Waqqash, ‘Abdullah bin Umar dan Imran bin Hushain ketika
mereka ditanya mengapa tidak ikut perang (saat fitnah) ? Mereka menjawab, “Kami
telah berperang sehingga tidak ada fitnah dan agama kecuali hanya bagi Allah,
tetapi kalian menginginkan agar berperang sehingga muncul fitnah dan agama
selain Allah”.
Hudzaifah pernah bertanya kepada Abu Musa, “Bagaimana menurutmu seorang yang keluar dengan pedangnya dengan
mengharapkan wajah Allah, lalu dia berperang hingga mati, apakah dia masuk surga
?” Abu Musa menjawab, “Ya”.
Hudzaifah mengatakan, “Tidak, namun
apabila dia keluar dengan pedangnya mengharapkan wajah Allah kemudian sesuai dengan perintah Allah
lalu terbunuh maka dia akan masuk surga”. Hasan al-Bashri pun pernah
memperhatikan jihad suatu kaum lalu berkomentar, “Ternyata mereka menghasungkan
pedang dalam kebid’ahan”.
Adapun hadits yang berbunyi bahwa jihad yang paling utama adalah kalimat
kebenaran di sisi pemimpin yang zhalim sama sekali tidak menguatkan aksi
demonstrasi karena maksud hadits ini adalah seseorang yang berani menyampaikan
kebenaran dengan berhadapan langsung dengan pemimpin tersebut, yang menujukkan
bahwa dia berani menanggung risiko. Berbeda jauh dengan demonstrasi karena
biasanya para demonstran penakut dan tidak berani berhadapan langsung dengan
pemimpin. Hanya berteriak dan meraung dari jauh, mengumpulkan massa dalam
jumlah banyak guna menjadi tameng bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan
sehingga risiko ditanggung bersama.
Syubhat kedua,
demonstrasi Umar dan Hamzah. Sebagian membolehkan aksi demo dengan dalil kisah
Umar dan Hamzah yang keluar beramai-ramai mendatangi masjid. Namun, kisah yang
terkenal ini tidak bisa dijadikan hujjah karena lemah sanad dan matan. Terdapat
perawi bernama Ishaq bin Abdullah bin Abu Farwah yang matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya). Imam Bukhari berkata,
“Para ulama meninggalkannya”. Imam Ahmad bahkan berkata, “Tidak halal
meriwayatkan darinya”.
Syubhat
ketiga, Ibunda Aisyah juga demonstrasi. Sebagian pejuang demonstrasi berdalil dengan
keluarnya Aisyah dalam perang jamal sebagai bolehnya wanita keluar dalam rangka
menuntut kebenaran. Mungkin pejuang demonstrasi ini lupa akan firman Allah, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah
dahulu” (Q.S Al Ahzab : 33). Atau mungkin mereka tidak tahu bahwa keluarnya
Aisyah tidak disetujui para sahabat lain. Ammar bin Yasir pernah berkata kepada
Aisyah usai perang Jamal, “Alangkah
jauhnya perjalanan ini dari kewajiban yang diwajibkan atas kalian!” Kemudian Ammar mengutip firman Allah, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu”
(Q.S Al Ahzab : 33).
Setelah itu, Aisyah menangis sejadi-jadinya atas keluarnya fitnah dan
menyesali perbuatannya. Bahkan dengan penyesalan itu Aisyah enggan dikubur di
rumahnya bersama Rasulullah karena telah melakukan dosa sepeninggal
beliau. Adz-Dzahabi berkomentar : “Maksud
beliau dengan dosa adalah keluarnya dalam perang Jamal, sebab beliau sangat
menyesal sekali dan bertaubat dari perbuatan tersebut, padahal beliau tidak
melakukan hal itu kecuali niat kebaikan, sebagaimana ijtihad Thalhah bin
Abdullah dan Zubair bin Awwam”
Pada bagian
akhir buku, penulis memaparkan kiat-kiat dalam menghadapi fitnah dengan cara
bertaubat dan kembali kepada agama islam, taqwa, taat kepada pemimpin dan
berpegang pada sunnah, berdoa, mengembalikan problematika kepada para ulama dan
pemimpin, menjauhi fitnah dan tidak berkecimpung di dalamnya serta tidak
tergesa-gesa dalam menghadapi suatu perkara.