15 December 2013

Demonstrasi, Solusi Atau Polusi ?


 Kalau BBM naik, demonstrasi…

Ada tokoh kalah dalam pemilihan, demonstrasi…

Gaji tak kunjung naik, demonstrasi…

Keputusan pemerintah dianggap kurang tepat, demonstrasi…

Indonesia mulai akrab dengan aksi demonstrasi menjelang detik-detik lengsernya presiden RI ke-2 tahun 1998. Dimotori para politikus, mahasiswa, karyawan sampai rakyat biasa, aksi demo marak digelar di berbagai tempat khususnya di gedung pemerintahan. Bukan hanya mahasiswa saja, tetapi gerakan-gerakan islam juga ikut andil dalam aksi ini. Sehingga banyak kalangan menyimpulkan bahwa demonstrasi boleh-boleh saja dilakukan. Tetapi, apa benar demonstrasi adalah solusi permasalahan di suatu negeri ? Atau tidakkah ia menjadi polusi yang justru membawa pada kerusakan ?

Buku kecil terbitan Darul Ilmi ini ditulis oleh Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi. Dengan ketebalan yang imut 175 halaman, penulis mengulas secara ringkas bagaimana kedudukan demonstrasi dalam tinjauan islam. Sebelum memasuki isi materi, terlebih dahulu dijelaskan tiga masalah penting terkait pembahasan yaitu pentingnya keamanan negara, pentingnya taat kepada pemimpin dan perbedaan demokrasi dengan islam. Materi inti dibuka dengan memaparkan secara singkat sejarah demontrasi. Setelah itu masuk pada hukum demonstrasi beserta argumentasinya, fatwa ulama terkait demonstrasi serta jawaban dari beberapa syubhat terkait demonstrasi. Di penghujung buku dilengkapi solusi terbaik menghadapi fitnah.

Ada tiga masalah penting sebelum memasuki pembahasan mengenai demonstrasi. Pertama, urgensi keamanan negara. Keamanan merupakan kebutuhan primer suatu bangsa. Nabi Ibrahim sendiri lebih mendahulukan keamanan dibanding pangan dalam doanya (Q.S Al Baqarah : 126). Sebab, tak mungkin seseorang dapat menikmati kelezatan makanan bila diselimuti kecemasan dan ketakutan. Pada bagian ini penulis juga memaparkan beberapa kiat dalam meraih keamanan. 

Kedua, urgensi taat kepada pemimpin negara. Ada tiga perkara penting yang wajib dipikul seorang pemimpin Negara, yaitu menegakkan agama, melawan serangan musuh dari luar yang ingin menjajah dan mewujudkan kemanan dalam negeri. Syariat islam menekankan pentingnya taat kepada pemimpin dalam hal yang tidak bertentangan dengan agama. Ketidaktaatan kepada pemimpin menjadikan segala urusan berantakan. Nabi pernah bersabda : “Aku wasiatkan kalian dengan taqwa kepada Allah dan mendengar serta taat pada pemimpin sekalipun dia adalah budak”

Ada pelajaran penting yang bisa diambil dari sikap Imam Ahmad bin Hambal tatkala sebagian kalangan berkumpul di Baghdad mengeluhkan pemerintahan Al-Watsiq yang menyebarkan paham bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan beterus terang bahwa mereka tidak setuju dengan kepemimpinan tersebut. Imam Ahmad yang berdialog dengan mereka berkata, “Ingkarilah dalam hati kalian, janganlah kalian memberontak, janganlah kalian menumpahkan darah kaum muslimin, pikirkanlah akibat perbuatan kalian dan bersabarlah sehingga Allah memberikan jalan keluar”. 

Ketiga, perbedaan demokrasi dan hukum islam. Demonstrasi adalah salah satu anak yang lahir dari rahim sistem demokrasi. Menurut pencetusnya, demokrasi adalah kekuasaan rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan jelas penulis menjawab bahwa sistem demokrasi bertentangan dengan hukum islam ditinjau dari beberapa segi seperti hukum dan undang-undang buatan manusia, partai dan perpecahan, kebebasan yang melampaui batas, suara mayoritas adalah standar dan persamaan derajat antara pria dan wanita. Terkait poin suara mayoritas adalah standar, saya teringat kata-kata Prie GS dalam novel Ipung. Beliau berkata, demokrasi memang berarti kedaulatan di tangan orang banyak. Tapi kalau orang banyak itu edan semua, apa masih perlu demokrasi ?

Selanjutnya materi inti diantar dengan mengulas definisi dan sejarah demonstrasi. Menurut Kamus Indonesia, demonstrasi diartikan sebagai pengungkapan kemauan secara beramai-ramai baik persetujuan atau ketidaksetujuan akan sesuatu, sambil berarak-arakan dengan membawa spanduk/panji-panji, poster dan lain sebagainya yang berisikan tulisan yang menggambarkan tujuan demonstrasi tersebut. Demonstrasi tidak sama dengan idzharul quwwah (unjuk kekuatan) sebagaimana kata para ulama bahwa ukuran sesuatu itu adalah hakikatnya bukan sekadar nama belaka. Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali pernah ditanya tentang pengaburan makna tersebut. Beliau menjawab dengan sebuah ungkapan : “Sa’ad mengembala unta dengan berselimut. Wahai Sa’ad, bukan seperti itu cara mengembala unta”. Demikian pula dikatakan kepada orang-orang yang unjuk kekuatan bahwa “Wahai saudaraku, engkau ingin unjuk kekuatan tapi dengan cara demonstrasi. Bukan seperti itu caranya unjuk kekuatan”

Demokrasi bermula dari pergolakan revolusi Perancis dengan slogan populernya, kebebasan, persaudaraan dan persamaan. Perancis secara resmi memasukkan demokrasi dalam UU berlabel Hak Asasi Manusia (HAM) pada tahun 1791. Pasal 3 UU tersebut berbunyi : “Rakyat adalah sumber kekuasaan, setiap badan dan individu berhak mengatur hukum, hukum dan hak diambil dari mereka”. Ketika Perancis menjajah dunia termasuk Negara-negara Arab sepert Mesir, Tunisia, Al-Jazair dan Maroko, masuk jugalah sistem demokrasi ke negeri jajahan tersebut.

Demonstrasi merupakan masalah kontemporer yang belum dikenal di zaman Nabi tetapi bukan berarti tidak memiliki hukum dalam kacamata syariat. Seperti ucapan Imam Asy-Syafi’I bahwa tidak ada suatu masalah baru apapun yang menimpa seorang yang berilmu agama, kecuali dalam Al-Qur’an telah ada jawaban dan petunjuknya. Ada lima argumen yang dikemukakan penulis terkait tidak bolehnya demonstrasi. 

Pertama, demonstrasi merupakan perkara baru dalam agama. Demonstrasi sering dianggap sebagai salah satu sarana dakwah dan bagian dalam ajaran islam padahal tidak pernah dicontohkan dan dipraktikkan oleh Nabi. Meskipun faktor pendorong untuk melakukannya sudah ada di zaman beliau seperti penyiksaaan, pembunuhan dan pemboikotan dari kaum Quraisy, tetapi Rasulullah beserta para sahabat tidak pernah berdemonstrasi ke rumah Abu Jahal dan orang musyrikin lainnya. Terkait hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan satu kaidah penting tentang maslahat dan mafsadah, yaitu “Setiap perkara yang faktor dilakukannya ada pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, yang nampaknya membawa maslahat tetapi tidak dikerjakan Nabi, maka jelas bahwa hal itu bukanlah maslahat” 

Kedua, demonstrasi termasuk tasyabbuh. Syaikh Shalih bin Fauzan berkata, “Menumbuhkan kebencian kepada pemimpin dalam hati rakyat merupakan usaha para perusak yang ingin membuat kekacauan di muka bumi. Orang-orang munafiq sejak dulu telah berusaha melakukan hal ini ketika mereka ingin memisahkan kaum muslimin dari Rasulullah, untuk membuat kekacauan pada masyarakat dengan mengatakan ‘Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang Muhajirin yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah) (Q.S Al-Munafiqun : 7)’” 

Ketiga, kerusakan yang ditimbulkan demonstrasi lebih banyak. Ibnul Qayyim berkata, “Apabila seseorang merasa kesulitan tentang hukum suatu masalah, apakah mubah atau haram, maka hendaklah dia melihat mafsadah (kerusakan) dan hasil yang ditimbulkan olehnya. Bila mengandung kerusakan yang lebih besar, sangatlah mustahil syariat islam memerintahkan atau membolehkannya bahkan keharamannya merupakan sesuatu yang pasti…” 

Sebagian orang berkata, bukankah demonstrasi ada manfaat dan maslahatnya ? Adanya manfaat bukan berarti suatu perbuatan itu pasti benar. Tetapi lihat apakah hal itu diajarkan dalam agama atau tidak. Contohnya khamer dan judi. “Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan judi. Katakanlah : Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya” (Q.S. Al-Baqarah : 219). Dalam hal ini ada kaidah fiqih yang sangat terkenal yaitu “Membendung kerusakan itu lebih utama daripada mendapatkan kebaikan” 

Keempat, menyelisihi sunnah nabi dalam menasihati pemimpin. Pemimpin juga manusia biasa yang bisa salah. Kewajiban orang yang dipimpin adalah menasihati dan mengingatkannya. Tetapi cara menasihati pemimpin tidak sama dengan menasihati orang biasa. Islam punya rambu-rambu etika menasihati pemimpin agar tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang hendak menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia mengambil tangannya, kemudian menyepi. Apabila penguasa itu mau menerima, maka itulah yang dimaksud. Apabila tidak menerima, sungguh dia telah menunaikan kewajibannya” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim, Ahmad, Hakim dishahihkan oleh syaikh Al-Albani). Dalam riwayat Imam Bukhari-Muslim, Usamah bin Zaid pernah ditanya, “Tidakkah engkau menemui Utsman kemudian menasihatinya ?” Beliau menjawab, “Apakah kamu pikir saya menasihatinya harus memberitahumu ? Sungguh aku telah menasihatinya dengan empat mata, dan tak ingin membuka rahasia.” 

Kelima, jembatan menuju pemberontakan. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang membenci sesuatu pada pemimpinnya maka hendaknya dia bersabar, karena seorang yang keluar dari pemimpin satu jengkal saja maka dia mati seperti matinya orang di masa jahiliyyah” (HR. Bukhari dan Muslim). Menghujat dan memberontak pemimpin tidak harus dengan senjata tetapi mencakup segala sarana yang menuju hal tersebut seperti mencela, menyebarkan kejelekan pemimpin, termasuk pula demosntrasi sebab manusia tidak akan memberontak pemimpin tanpa ada yang menyalakan api kebencian. 

Menurut Al-hafidz Ibnu Hajar, faktor utama terbunuhnya Utsman adalah celaan kepada para gubernurnya, yang secara otomatis kepada beliau juga sebagai yang mengangkat gubernur. Syaikh Shalih as-Sadlan pun berkata bahwa memberontak memang bukan hanya dengan senjata, tapi juga dengan kata-kata seperti tulisan di media, kaset ceramah, seminar yang isinya mengompori untuk memberontak.

Bagian tengah buku ini mengangkat fatwa-fatwa ulama tentang demonstrasi mulai dari fatwa Lajnah Da’imah Sudi Arabia, fatwa Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan dan murid-murid Syaikh Al-Albani. Inti dari fatwa-fatwa tersebut adalah tidak bolehnya melakukan demonstrasi karena bukan cara yang disyariatkan islam dan bukan pula solusi yang benar dalam memperbaiki dakwah. Selain itu ada beberapa syubhat yang dibahas seputar demonstrasi beserta jawaban syubat tersebut.   

Syubhat pertama : Demonstrasi merupakan jihad. Jawaban : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa Al Qur’an dan sunnah penuh perintah jihad dan keutamaannya. Tetapi harus dibedakan antara jihad syar’i yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya dengan jihad bid’ah. Tidak semua peperangan merupakan jihad syar’i seperti jawaban Sa’ad bin Abi Waqqash, ‘Abdullah bin Umar dan Imran bin Hushain ketika mereka ditanya mengapa tidak ikut perang (saat fitnah) ? Mereka menjawab, “Kami telah berperang sehingga tidak ada fitnah dan agama kecuali hanya bagi Allah, tetapi kalian menginginkan agar berperang sehingga muncul fitnah dan agama selain Allah”.

Hudzaifah pernah bertanya kepada Abu Musa, “Bagaimana menurutmu seorang yang keluar dengan pedangnya dengan mengharapkan wajah Allah, lalu dia berperang hingga mati, apakah dia masuk surga ?” Abu Musa menjawab, “Ya”. Hudzaifah mengatakan, “Tidak, namun apabila dia keluar dengan pedangnya mengharapkan wajah Allah kemudian sesuai dengan perintah Allah lalu terbunuh maka dia akan masuk surga”. Hasan al-Bashri pun pernah memperhatikan jihad suatu kaum lalu berkomentar, “Ternyata mereka menghasungkan pedang dalam kebid’ahan”.

Adapun hadits yang berbunyi bahwa jihad yang paling utama adalah kalimat kebenaran di sisi pemimpin yang zhalim sama sekali tidak menguatkan aksi demonstrasi karena maksud hadits ini adalah seseorang yang berani menyampaikan kebenaran dengan berhadapan langsung dengan pemimpin tersebut, yang menujukkan bahwa dia berani menanggung risiko. Berbeda jauh dengan demonstrasi karena biasanya para demonstran penakut dan tidak berani berhadapan langsung dengan pemimpin. Hanya berteriak dan meraung dari jauh, mengumpulkan massa dalam jumlah banyak guna menjadi tameng bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan sehingga risiko ditanggung bersama. 

Syubhat kedua, demonstrasi Umar dan Hamzah. Sebagian membolehkan aksi demo dengan dalil kisah Umar dan Hamzah yang keluar beramai-ramai mendatangi masjid. Namun, kisah yang terkenal ini tidak bisa dijadikan hujjah karena lemah sanad dan matan. Terdapat perawi bernama Ishaq bin Abdullah bin Abu Farwah yang matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya). Imam Bukhari berkata, “Para ulama meninggalkannya”. Imam Ahmad bahkan berkata, “Tidak halal meriwayatkan darinya”. 

Syubhat ketiga, Ibunda Aisyah juga demonstrasi. Sebagian pejuang demonstrasi berdalil dengan keluarnya Aisyah dalam perang jamal sebagai bolehnya wanita keluar dalam rangka menuntut kebenaran. Mungkin pejuang demonstrasi ini lupa akan firman Allah, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah dahulu” (Q.S Al Ahzab : 33). Atau mungkin mereka tidak tahu bahwa keluarnya Aisyah tidak disetujui para sahabat lain. Ammar bin Yasir pernah berkata kepada Aisyah usai perang Jamal, “Alangkah jauhnya perjalanan ini dari kewajiban yang diwajibkan atas kalian!”  Kemudian Ammar mengutip firman Allah, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu” (Q.S Al Ahzab : 33). 

Setelah itu, Aisyah menangis sejadi-jadinya atas keluarnya fitnah dan menyesali perbuatannya. Bahkan dengan penyesalan itu Aisyah enggan dikubur di rumahnya bersama Rasulullah karena telah melakukan dosa sepeninggal beliau.  Adz-Dzahabi berkomentar : “Maksud beliau dengan dosa adalah keluarnya dalam perang Jamal, sebab beliau sangat menyesal sekali dan bertaubat dari perbuatan tersebut, padahal beliau tidak melakukan hal itu kecuali niat kebaikan, sebagaimana ijtihad Thalhah bin Abdullah dan Zubair bin Awwam” 

Pada bagian akhir buku, penulis memaparkan kiat-kiat dalam menghadapi fitnah dengan cara bertaubat dan kembali kepada agama islam, taqwa, taat kepada pemimpin dan berpegang pada sunnah, berdoa, mengembalikan problematika kepada para ulama dan pemimpin, menjauhi fitnah dan tidak berkecimpung di dalamnya serta tidak tergesa-gesa dalam menghadapi suatu perkara.
 
;