“Berhenti tidak sulit. Memutuskan untuk berhentilah yang sulit”
Beberapa teman mulai menanyakan alasan mengapa saya menghapus akun
facebook. Desember lalu, bertepatan dengan pergantian usia, saya
memutuskan keluar dari jejaring sosial itu. Tahap-tahap penghapusannya
cukup menguras waktu dan tenaga. Ada sekitar lima jam waktu yang saya
butuhkan sebelum berhasil menyelesaikan seluruh prosedurnya. Sebuah
artikel menyebutkan bahwa menghapus akun saja belum tentu membuat akun
kita terhapus permanen. Ada beberapa tahap yang harus diikuti.
Pertama-tama, kita harus menghapus semua teman, menghapus semua status
dan komentar, menghapus semua catatan, keluar dari semua group yang
pernah dimasuki, dan menghapus semua foto yang pernah di upload serta
menghapus semua tag-tag foto. Setelah itu kirimkan email permintaan
penghapusan akun ke facebook. Kemudian tunggu sampai 14 hari lalu coba
login kembali. Jika tidak bisa masuk, berarti akun tersebut benar-benar
sudah terhapus.
Seorang teman langsung protes mengetahui hal ini. Wajar karena saya
adalah informan terdekatnya yang bertugas meneruskan info-info kuliah
yang beredar di group. Akhirnya kami memutuskan membuat akun bersama,
yang hanya digunakan untuk keperluan group dan tidak menerima pertemanan
dalam bentuk apapun (memang ada berapa macam bentuk pertemanan ?).
Beberapa orang sempat mengira penyebab keluarnya saya dari facebook
karena ada pengganggu semacam stalker. Tapi saya tidak pernah bermasalah
dengan stalker. Lagipula kalau hanya karena itu, saya tinggal
mengaktifkan fasilitas blokir yang sudah disediakan. Kehidupan di
facebook terkendali sepenuhnya, bahkan kadang sampai pada taraf
membosankan. Lalu apa alasan tepatnya ?
Ehm, sebenarnya saya juga bingung. Hari itu saya masih membuka fb
seperti biasa, melihat apa ada info terbaru seputar jadwal kuliah atau
tugas-tugas di group. Tapi saat membaca status-status yang berhamburan
di timeline, saya dihinggapi rasa sesak. Ketika membuka kembali
status-status yang pernah saya update, foto-foto yang pernah di-tag,
sesaknya tambah parah. Baiklah, sebut saya aneh. Saya hanya merasa sesak
dan itu sebenarnya sudah berlangsung lama tapi saya abaikan. Setelah
itu, entah dari mana tiba-tiba saja kepikiran untuk menghapus akun.
Padahal bagaimanapun sibuknya, saya tidak pernah menonaktifkan akun.
Bagimanapun membosankan dan bagaimanapun kecanduannya, tidak pernah
terpikir sampai harus menghapus akun secara permanen. Mungkin ini yang
disebut dengan sampai pada ambang batas.
Saya tahu saya butuh untuk didengarkan dan facebook cukup membantu
akan hal itu. Tapi lama-kelamaan saya merasa “sakit” di sana. Beberapa
waktu kemudian, datang sebuah pesan dari seorang teman yang mengabarkan
keluar dari facebook dan alasannya dia kemukakan lewat blog pribadinya.
Saya membaca alasan-alasannya dan menemukan kata “sakit” di sana. Oh
well, sepertinya kami punya persamaan di sini.
Dunia facebook, seperti yang kita ketahui, membuka kesempatan
sebebas-bebasnya bagi siapapun untuk buka-bukaan. Kau bebas menangis,
marah, tertawa, memaki dan mengeluh di facebook. Kau bebas meng-upload
ratusan foto mulai dari yang sopan sampai yang tidak sopan serta share
ini itu. Kau bahkan bebas membongkar timeline orang lain tanpa
sepengetahuan yang bersangkutan. Di sisi lain kau juga bisa menggunakan
facebook sebagai sarana dakwah dengan membagi nasihat-nasihat positif
atau info-info terbaru seputar dunia islam. Intinya kau bebas melakukan
apa saja di sana.
Tetapi jarak di facebook terlalu dekat satu sama lain. Ini salah satu
alasan yang membuat saya sesak di sana. Berbeda dengan twitter, yang
tampilannya simpel dengan ruang privasi yang lebih berjarak. Sebelumnya,
sudah tidak terhitung jumlah akun jejaring sosial yang saya buat mulai
dari YM, fb, twitter, netlog, quepasha, dan entah apa lagi. Beberapa di
antaranya sudah dihapus dan menjadi reruntuhan di dunia maya. Yang
bertahan sampai sekarang hanya twitter dan blog ini. Baru-baru ini salah
seorang teman mengundurkan diri dari twitter. Entah apa alasannya. Saya
pun tidak tahu sampai akan bertahan di twitter. Tapi untuk sementara
saya merasa nyaman di sana. Dan selama tidak merasa sesak dan “sakit”,
saya mungkin bisa menetap.
Dunia facebook sebenarnya cukup menyenangkan tapi saya sudah terlalu
lama tinggal di sana. Ada banyak hal yang tidak perlu terlalu kita
ketahui dari hidup orang lain. Dan ada banyak hal yang orang lain tidak
perlu terlalu ketahui dari hidup kita. Jadi beruntunglah orang-orang
yang bisa bertahan di facebook tanpa harus menderita “sakit” di dunia
itu.