02 January 2013

Alasan

“Berhenti tidak sulit. Memutuskan untuk berhentilah yang sulit” 

Beberapa teman mulai menanyakan alasan mengapa saya menghapus akun facebook. Desember lalu, bertepatan dengan pergantian usia, saya memutuskan keluar dari jejaring sosial itu. Tahap-tahap penghapusannya cukup menguras waktu dan tenaga. Ada sekitar lima jam waktu yang saya butuhkan sebelum berhasil menyelesaikan seluruh prosedurnya. Sebuah artikel menyebutkan bahwa menghapus akun saja belum tentu membuat akun kita terhapus permanen. Ada beberapa tahap yang harus diikuti. Pertama-tama, kita harus menghapus semua teman, menghapus semua status dan komentar, menghapus semua catatan, keluar dari semua group yang pernah dimasuki, dan menghapus semua foto yang pernah di upload serta menghapus semua tag-tag foto. Setelah itu kirimkan email permintaan penghapusan akun ke facebook. Kemudian tunggu sampai 14 hari lalu coba login kembali. Jika tidak bisa masuk, berarti akun tersebut benar-benar sudah terhapus. 

Seorang teman langsung protes mengetahui hal ini. Wajar karena saya adalah informan terdekatnya yang bertugas meneruskan info-info kuliah yang beredar di group. Akhirnya kami memutuskan membuat akun bersama, yang hanya digunakan untuk keperluan group dan tidak menerima pertemanan dalam bentuk apapun (memang ada berapa macam bentuk pertemanan ?). Beberapa orang sempat mengira penyebab keluarnya saya dari facebook karena ada pengganggu semacam stalker. Tapi saya tidak pernah bermasalah dengan stalker. Lagipula kalau hanya karena itu, saya tinggal mengaktifkan fasilitas blokir yang sudah disediakan. Kehidupan di facebook terkendali sepenuhnya, bahkan kadang sampai pada taraf membosankan. Lalu apa alasan tepatnya ? 

Ehm, sebenarnya saya juga bingung. Hari itu saya masih membuka fb seperti biasa, melihat apa ada info terbaru seputar jadwal kuliah atau tugas-tugas di group. Tapi saat membaca status-status yang berhamburan di timeline, saya dihinggapi rasa sesak. Ketika membuka kembali status-status yang pernah saya update, foto-foto yang pernah di-tag, sesaknya tambah parah. Baiklah, sebut saya aneh. Saya hanya merasa sesak dan itu sebenarnya sudah berlangsung lama tapi saya abaikan. Setelah itu, entah dari mana tiba-tiba saja kepikiran untuk menghapus akun. Padahal bagaimanapun sibuknya, saya tidak pernah menonaktifkan akun. Bagimanapun membosankan dan bagaimanapun kecanduannya, tidak pernah terpikir sampai harus menghapus akun secara permanen. Mungkin ini yang disebut dengan sampai pada ambang batas. 

Saya tahu saya butuh untuk didengarkan dan facebook cukup membantu akan hal itu. Tapi lama-kelamaan saya merasa “sakit” di sana. Beberapa waktu kemudian, datang sebuah pesan dari seorang teman yang mengabarkan keluar dari facebook dan alasannya dia kemukakan lewat blog pribadinya. Saya membaca alasan-alasannya dan menemukan kata “sakit” di sana. Oh well, sepertinya kami punya persamaan di sini. 

Dunia facebook, seperti yang kita ketahui, membuka kesempatan sebebas-bebasnya bagi siapapun untuk buka-bukaan. Kau bebas menangis, marah, tertawa, memaki dan mengeluh di facebook. Kau bebas meng-upload ratusan foto mulai dari yang sopan sampai yang tidak sopan serta share ini itu. Kau bahkan bebas membongkar timeline orang lain tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Di sisi lain kau juga bisa menggunakan facebook sebagai sarana dakwah dengan membagi nasihat-nasihat positif atau info-info terbaru seputar dunia islam. Intinya kau bebas melakukan apa saja di sana. 

Tetapi jarak di facebook terlalu dekat satu sama lain. Ini salah satu alasan yang membuat saya sesak di sana. Berbeda dengan twitter, yang tampilannya simpel dengan ruang privasi yang lebih berjarak. Sebelumnya, sudah tidak terhitung jumlah akun jejaring sosial yang saya buat mulai dari YM, fb, twitter, netlog, quepasha, dan entah apa lagi. Beberapa di antaranya sudah dihapus dan menjadi reruntuhan di dunia maya. Yang bertahan sampai sekarang hanya twitter dan blog ini. Baru-baru ini salah seorang teman mengundurkan diri dari twitter. Entah apa alasannya. Saya pun tidak tahu sampai akan bertahan di twitter. Tapi untuk sementara saya merasa nyaman di sana. Dan selama tidak merasa sesak dan “sakit”, saya mungkin bisa menetap. 

Dunia facebook sebenarnya cukup menyenangkan tapi saya sudah terlalu lama tinggal di sana. Ada banyak hal yang tidak perlu terlalu kita ketahui dari hidup orang lain. Dan ada banyak hal yang orang lain tidak perlu terlalu ketahui dari hidup kita. Jadi beruntunglah orang-orang yang bisa bertahan di facebook tanpa harus menderita “sakit” di dunia itu.
 
;