“Kita kembali ke tempat ini untuk mencari suasana kekeluargaan,
kenangan yang tertinggal dan menetralisir individualisme. Mungkin itu yang selalu mengikat sebagian hati kita di sini”
kenangan yang tertinggal dan menetralisir individualisme. Mungkin itu yang selalu mengikat sebagian hati kita di sini”
-Seseorang-
Ada dua hal di kota ini yang tidak pernah saya dapatkan di tempat lain. Yang membuat saya wajib melihatnya setiap kali kembali kesini. Yang pertama adalah bulan. Yang kedua, Ruang Jingga. Yang pertama pasti terdengar konyol karena bulan bisa ditemukan di belahan bumi manapun. Tapi seperti kalimat tadi, “ Mencari kenangan yang tertinggal, yang mengikat sebagian hati kita disini”. Beberapa orang pasti bosan dengan ini karena baik di gambar profil, wallpaper laptop, tema hp, film dan buku kesukaan sampai tulisan atau puisi yang pernah diposting pasti selalu berhubungan dengan bulan.
Ah, bulan. Kenapa saya suka novel Tere-Liye yang berjudul “Rembulan Tenggelam di Wajahmu” ? Karena tokoh utamanya, Ray, adalah seorang penyuka bulan. Ia sering berbaring di atap rumah dan tidur di sana saat bulan purnama penuh. Ray yang bisa tenang hanya dengan memandang bulan. Inilah persamaan saya dengan tokoh itu. Kenapa saya sampai menangis saat nonton dorama Tsuki no Koibito walau sebenarnya tidak terlalu paham hubungan antara bulan, furniture dan cinta ? Karena setiap adegan sedih ataupun adegan bahagianya selalu memperlihatkan bulan. Seorang teman bahkan pernah menyebut selera saya kaku dan suram setelah melihat layar laptop yang hanya bergambar bulan biru tertutup awan. Katanya hidup saya tidak berwarna. Kuanggap itu sebagai cobaan yang harus saya jalani dalam hidup ini (halah). Bulan memang punya dua sisi. Sisi gelap dan terang. Saya bisa merasakan kesedihan dan ketenangan di saat yang sama hanya dengan memandangnya. Bagi saya bulan adalah sosok penyendiri dan misterius. Maha Besar Allah yang telah menciptakan makhluk menakjubkan ini.
Nah, bulan di kota ini, bagaimanapun -bagi saya- tidak sama dengan bulan yang saya temui di tempat lain. Karena di sini saya bisa mengiris bulan dan mengukirnya menjadi dua bulan sabit. Satunya saya biarkan di langit dan satunya lagi digantung di jendela kamar. *plaakk* aduh, maaf...maaf...tulisannya malah jadi ngawur begini. Lupakan kekonyolan tadi. Eh, ngomong-ngomong masalah kekonyolan, saya sempat melongok ke twitter dan seorang teman sedang berteriak-teriak konyol setelah melihat foto-foto hyde saat L’Arc~en~ciel konser di Jakarta. Ckckck, itu masih fotonya, bagaimana kalau ketemu orangnya langsung. Saya pastikan anak itu akan kejang-kejang kayak orang kena ayan.
Kembali ke dua hal tadi. Ruang Jingga adalah tempat saya sering menghabiskan sore sejak SMP. Kenapa saya menyebutnya Ruang Jingga ? Karena di sore hari, tempat ini terang benderang oleh warna jingga. Ruangan ini menghadap ke laut, ke arah matahari terbenam. Ruangan ini penuh buku dan dikelilingi jendela yang tertutup kaca. Jika seseorang berdiri menghadap matahari di jendela itu, kemudian memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan memandang lurus ke laut tanpa ekspresi, orang itu akan terlihat keren (jangan tanya kenapa saya tahu). Kedua bola matanya akan terlihat lebih kecokelatan dan rambutnya jadi lebih terang. Atau jika seseorang tidur bersandar di sisi jendela dengan buku menutup wajahnya. Bayangan yang terbentuk selalu mengingatkan saya akan gambar terakhir manga “Umi no Aurora”. Di sinilah saya sering menghabiskan waktu sepulang sekolah hingga senja tiba atau hingga petugas mengetuk pintu tanda sebentar lagi ruangan akan ditutup.