03 June 2012

Pelampiasan Amarah

Setiap dari kita pasti pernah marah. Entah itu karena rencana hari ini berantakan, terlalu lama menunggu seseorang yang tak kunjung datang, menghilangkan barang berharga, ataupun karena hal lainnya. Apa yang sering kita lakukan saat berada di puncak kemarahan? Berteriak, menangis, mencaci maki, mengancurkan barang-barang, menahannya atau malah mengalihkannya dengan mengerjakan sesuatu yang lain? Dari beberapa teman yang saya perhatikan, ada di antaranya yang jika berada di puncak kemarahan, justru akan menangis alih-alih mencaci-maki. Tapi ada juga yang sebaliknya. Saya pernah mendapati punggung tangan teman saya lebam karena meninju tembok demi melampiaskan amarahnya (untung bukan meninju orang). 

Sewaktu SMA, ketika marah, saya akan meninggalkan rumah, tidak peduli apakah diizinkan atau tidak, lalu melarikan motor dengan kecepatan di atas 80 km/jam melintasi jalan raya sampai puas. Karenanya terkadang saya mengalami kecelakaan meski tidak parah, tapi motor ayah saya jadi rusak dan ujung-ujungnya dimarahi lagi (parah). Selain itu biasanya saya mendatangi perpustakaan yang masih buka sampai jam 10 malam kemudian berdiam diri di sana karena tempat itu selalu sepi pengunjung. Jika sudah tidak tahan, saya akan menangis di sudut belakang, di antara tumpukan buku-buku. Atau terkadang saya singgah di dermaga untuk melihat laut atau sekadar memandang bulan.

Hakikat kemarahan itu sendiri adalah darah di dalam hati yang mendidih karena mencari pelampiasan. Kemarahan itu bisa datang karena orang lain, namun terkadang kita sebenarnya justru marah pada diri sendiri dan kita membutuhkan sesuatu ataupun tempat untuk melampiaskannya. Saya pernah melihat seorang bapak yang memarahi anaknya di dalam bus ketika akan pulang kampung karena anak tersebut terus merengek minta digendong oleh sang ayah. Belakangan saya baru tahu kalau bapak itu sedang sakit dan tidak bisa berdiri terlalu lama. Saya mengambil kesimpulan bahwa bapak itu sebenarnya kesal pada dirinya sendiri karena sakit sehingga tidak bisa menggendong anaknya. Mungkin kita berpikir bahwa setelah melampiaskan kemarahan, kita akan merasa sedikit lega. Bisa jadi memang benar, tapi masalah lain akan menyusul akibat perbuatan kita itu. Entah dari orang yang kita sakiti seperti rasa benci dan sakit hati ataupun materi lain yang hancur karena pelampiasan kita seperti motor saya yang rusak tadi (kan mahal tuh).

Di sisi lain ternyata ada cara pelampiasan unik yang dilakukan oleh sebagian orang. Bila sedang marah, teman saya tidak melampiaskannya dengan kata-kata kasar atau menghancurkan barang-barang. Dia justru melampiaskannya pada cabe, lebih tepatnya cabe hijau. Jika melihat dia duduk di atas kursi dengan tatapan tanpa ekspresi sambil mengunyah cabe hijau sampai beberapa biji, maka kami sudah mafhum bahwa dia sedang marah. Cara kami membantunya hanya satu, yaitu membelikan cabe hijau yang banyak untuk persediaan selanjutnya.

Ada juga seorang teman yang melampiaskannya dengan cara lain. Ceritanya waktu itu ia sedang mencari Hp yang lupa ditaruh di mana berhubung dia memang pelupa akut. Dia telah mutar-mutar mencari Hp itu lebih dari satu jam tapi hasilnya nihil. Sementara Hp-nya tidak bisa dihubungi karena tidak aktif. Di samping itu ia juga sedang menunggu telepon penting dari seseorang. Di puncak kemarahannya yang sebenarnya ia memang marah pada dirinya sendiri, saya berpikir dia mungkin akan berteriak memaki-maki. Tapi ternyata tidak, dia justru mengambil dua buah crayon warna oranye dan merah kemudian menyambar selembar kertas koran dan mulai mencoret-coretinya. Saya menaikkan sebelah alis, mau apa orang ini ? Saya bertanya apa dia baik-baik saja tapi dia hanya diam sambil terus mencoret-coret koran tadi. Saya menghela napas dan berlalu meninggalkannya, mungkin dia butuh waktu sendiri.

Sejam kemudian ia mendatangi saya dan mengatakan bahwa ia telah menemukan Hp-nya yang ternyata digantung di jendela kamar tapi tidak kelihatan karena terhalang kain gorden. Setelah itu ia memperlihatkan koran yang telah dicoret-coret tadi. Dia kemudian menjelaskan bahwa daripada melampiaskan kemarahannya pada orang-orang yang tidak bersalah, lebih baik mencoret-coret koran sampai puas. Lalu dengan bangga ia memperlihatkan hasil karyanya (lihat di bawah). Saya terbengong-bengong. Tadinya saya pikir dia sudah gila, tapi melihat hasil karyanya itu, saya jadi salut (salah urat ^_^).

Hasil pelampiasan amarah. Lumayan kan ?

Kemampuan mengelola suasana hati memang bukanlah sifat bawaan. Ia merupakan hasil dari proses pembelajaran. Lebih dari itu kita harus memahami bahwa setan akan lebih mudah menguasai anak adam tatkala ia sedang marah. Diriwayatkan bahwa iblis yang dikutuk Allah menampakkan diri di hadapan Musa ‘Alaihi wasallam dan berkata, “Hai Musa, jauhilah sikap keras, kerena aku bisa mempermainkan orang yang keras sebagaimana seorang anak kecil memainkan bola....”. Ada juga pepatah yang mengatakan, “Jauhilah amarah, karena ia bisa merusak iman, sebagaimana racun yang bisa merusak madu. Amarah adalah musuh akal”.

Terakhir, jangan menganggap yang menulis ini adalah orang yang paling bisa menahan marah. Dia juga masih terus belajar mengelola suasana hatinya. Jadi, jika suatu saat kalian melihat ia marah dan melakukan kekonyolan, maka tolonglah orang itu. Terima kasih.

“Orang yang kuat itu bukanlah karena bergulat, tetapi orang yang kuat itu yang dapat menguasai diri saat marah.” 
(HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
 
;