Kegembiraan
adalah sesuatu yang bisa dengan mudah ditemukan. Salah satu ciri masyarakat
kita adalah mereka selalu punya modal untuk bergembira dalam berbagai keadaan. Entah
dalam kondisi kekurangan, berkecukupan atau berkelebihan. Anak-anak penjual koran
di dekat lampu merah, misalnya. Dengan pekerjaan yang penuh risiko, pakaian
pudar warna, kesehatan yang terancam oleh polusi udara dan bising kendaraan,
serta pendapatan yang tak seberapa, tak menghalangi mereka untuk bergembira.
Cukuplah bermodal seutas tali, kemudian bergantian melompatinya, mereka sudah
bisa melebarkan senyum. Kondisi yang serba kekurangan tak membuat mereka
kehilangan dunia kanak-kanak, dunia bermain.
Remaja sekolah atau
mahasiswa lain lagi. Jalan-jalan, makan, nonton, belanja atau bernyanyi adalah
sejumlah aktivitas yang biasa dilakukan untuk memancing kegembiraan. Karena
itu, tempat semacam mal, bioskop, rumah makan dan rumah bernyanyi tak pernah
sepi dari pengunjung. Sepekan penuh berkutat dengan kuliah dan laporan membuat
mereka ingin beristirahat. Dan istirahat tidak harus dilakukan dengan tidur atau
berdiam diri. Istirahat yang dimaksud boleh jadi istirahat dari memikirkan
kuliah dengan mengalihkannya pada hal lain. Namun, fasiltas yang dibutuhkan untuk
memenuhi hal tersebut biasanya sulit dijangkau. Para pebisnis yang melihat
peluang ini kemudian membangun mal, bioskop, dan rumah bernyanyi di sekitar
kampus dengan asumsi bahwa kebanyakan mahasiswa tinggal di area itu sehingga hiburan
dapat dengan mudah diperoleh tanpa harus jauh-jauh datang ke pusat kota. Tak heran
bila saat ini rumah bernyanyi bisa dijangkau hanya dengan menyeberang jalan
dari kampus.
Makan juga
mengandung unsur kegembiraan. Makanan adalah kebutuhan paling dasar bagi tubuh.
Negara-negara dengan tingkat kebahagiaan di titik terbawah adalah mereka
yang selalu dilanda kelaparan. Pertikaian mudah tersulut ketika orang menjadi gampang
marah. Dan orang menjadi gampang marah ketika sedang kelaparan. Karenanya ada
yang mengatakan bahwa makan adalah salah satu sumber kebahagiaan. Saking
pentingnya urusan makanan sampai-sampai hakim pun dilarang memutuskan perkara dalam
keadaan lapar.
Kecenderungan
manusia yang serba praktis membuat rumah makan menjadi tempat yang paling mudah
ditemui dan paling sering dikunjungi selain SPBU dan mini market. Tak heran
bila setiap kali ada ajakan dari teman kebanyakan adalah ajakan makan. Tak heran
pula bila seseorang baru saja lulus, baru dapat gaji atau baru terima beasiswa
maka permintaan paling umum dari orang-orang sekelilingnya adalah traktiran
makan. Pada situasi yang berbeda, kegembiraan bisa berasal dari sisa makanan. Tengok
saja kedai kampus. Di sana bisa dijumpai anak-anak peminta sumbangan yang begitu
senang dapat jatah sisa makanan para pengunjung. Sisa-sisa itu dikumpulkan lalu
dimakan bersama di bawah tangga. Status makanan tersebut bukan masalah bagi
mereka, selama bisa dijadikan pengganjal perut-perut yang lapar. Dan bersyukurlah
kita yang masih bisa makan dengan cara yang lebih layak.
Bermodal sekotak
TV pun bisa ditemukan bermacam kegembiraan. Mulai dari iklan yang lucu, kreatif
sampai yang garing, sinetron, FTV, film box office, acara memasak sampai acara
jalan-jalan disajikan lengkap di setiap kanal sejak pagi hingga pagi kembali. Selain
itu ada program lawak yang memang khusus dibuat untuk memancing tawa. Mulai
dari seorang jomblo yang menceritakan malam minggunya, para wayang yang
dipimpin seorang dalang sampai lelucon slapstik bedak tabur. Namun, seringnya lelucon
slapstik ini mengabaikan adab-adab dengan menjadikan kekurangan orang lain
sebagai bahan lawakan. Lelucon pun menjadi paradoks, lucu bagi penonton dan
penderitaan bagi yang dijadikan lelucon. Sederhananya, bergembira di atas
penderitaan orang lain. Lebih lugas dipaparkan oleh dosen saya bahwa tabiat manusia
memang senang melihat orang lain menderita. Bila kau melihat temanmu jatuh dari
atas becak, kata beliau, jujur saja kau pasti akan tertawa lebih dahulu sebelum
menolongnya.
Aksi demonstran
pun bisa menjadi sumber kegembiraan. Mahasiswa yang berhasil memblokir jalan mungkin
gembira dengan aksi mereka tanpa peduli betapa banyak pengguna jalan menderita
karenanya. Demikian pula tawuran antar fakultas yang membuat kampus diliburkan
tiga hari. Mahasiswa yang terlibat tawuran terbaring penuh luka di rumah sakit,
di sebuah ruang kerja, seorang dekan sedang memijat kening memikirkan jalan
keluar, dan di tempat lain, mahasiswa bersorak diberi hadiah libur tiga hari. Satu
kata libur sudah cukup untuk menarik kegembiraan. Apalagi tiga hari
berturut-turut.
Bila sedang
jalan dengan sepupu, saya pun tak lepas dari hal-hal semacam ini. Kami bisa menertawakan
berbagai hal, iklan di pinggir jalan, model motor yang sudah dimodifikasi
sedemikian rupa, model pakaian yang dipajang di etalase toko, kesalahan
penulisan di spanduk sebuah salon atau warung makan, dan berbagai hal lain yag
ditemui selama perjalanan.
Pada
situasi yang lain, kegembiraan bisa menjadi begitu sederhana. Cukup berkumpul
dalam sebuah lingkaran kecil di akhir pekan, berbagi makanan yang dibawa dari
rumah, saling cek hafalan lalu mendengarkan materi. Lebih sederhana lagi, kadang
saya tidak perlu melakukan apapun selain mendengar. Suara ibu yang bertanya
kabar lewat telepon, yang dilakukan hanya sekali atau dua kali dalam sebulan
bisa meningkatkan interval kegembiraan saya beberapa persen.