08 December 2013

Random Kegembiraan

Kegembiraan adalah sesuatu yang bisa dengan mudah ditemukan. Salah satu ciri masyarakat kita adalah mereka selalu punya modal untuk bergembira dalam berbagai keadaan. Entah dalam kondisi kekurangan, berkecukupan atau berkelebihan. Anak-anak penjual koran di dekat lampu merah, misalnya. Dengan pekerjaan yang penuh risiko, pakaian pudar warna, kesehatan yang terancam oleh polusi udara dan bising kendaraan, serta pendapatan yang tak seberapa, tak menghalangi mereka untuk bergembira. Cukuplah bermodal seutas tali, kemudian bergantian melompatinya, mereka sudah bisa melebarkan senyum. Kondisi yang serba kekurangan tak membuat mereka kehilangan dunia kanak-kanak, dunia bermain.

Remaja sekolah atau mahasiswa lain lagi. Jalan-jalan, makan, nonton, belanja atau bernyanyi adalah sejumlah aktivitas yang biasa dilakukan untuk memancing kegembiraan. Karena itu, tempat semacam mal, bioskop, rumah makan dan rumah bernyanyi tak pernah sepi dari pengunjung. Sepekan penuh berkutat dengan kuliah dan laporan membuat mereka ingin beristirahat. Dan istirahat tidak harus dilakukan dengan tidur atau berdiam diri. Istirahat yang dimaksud boleh jadi istirahat dari memikirkan kuliah dengan mengalihkannya pada hal lain. Namun, fasiltas yang dibutuhkan untuk memenuhi hal tersebut biasanya sulit dijangkau. Para pebisnis yang melihat peluang ini kemudian membangun mal, bioskop, dan rumah bernyanyi di sekitar kampus dengan asumsi bahwa kebanyakan mahasiswa tinggal di area itu sehingga hiburan dapat dengan mudah diperoleh tanpa harus jauh-jauh datang ke pusat kota. Tak heran bila saat ini rumah bernyanyi bisa dijangkau hanya dengan menyeberang jalan dari kampus.

Makan juga mengandung unsur kegembiraan. Makanan adalah kebutuhan paling dasar bagi tubuh. Negara-negara dengan tingkat kebahagiaan di titik terbawah adalah mereka yang selalu dilanda kelaparan. Pertikaian mudah tersulut ketika orang menjadi gampang marah. Dan orang menjadi gampang marah ketika sedang kelaparan. Karenanya ada yang mengatakan bahwa makan adalah salah satu sumber kebahagiaan. Saking pentingnya urusan makanan sampai-sampai hakim pun dilarang memutuskan perkara dalam keadaan lapar.

Kecenderungan manusia yang serba praktis membuat rumah makan menjadi tempat yang paling mudah ditemui dan paling sering dikunjungi selain SPBU dan mini market. Tak heran bila setiap kali ada ajakan dari teman kebanyakan adalah ajakan makan. Tak heran pula bila seseorang baru saja lulus, baru dapat gaji atau baru terima beasiswa maka permintaan paling umum dari orang-orang sekelilingnya adalah traktiran makan. Pada situasi yang berbeda, kegembiraan bisa berasal dari sisa makanan. Tengok saja kedai kampus. Di sana bisa dijumpai anak-anak peminta sumbangan yang begitu senang dapat jatah sisa makanan para pengunjung. Sisa-sisa itu dikumpulkan lalu dimakan bersama di bawah tangga. Status makanan tersebut bukan masalah bagi mereka, selama bisa dijadikan pengganjal perut-perut yang lapar. Dan bersyukurlah kita yang masih bisa makan dengan cara yang lebih layak.

Bermodal sekotak TV pun bisa ditemukan bermacam kegembiraan. Mulai dari iklan yang lucu, kreatif sampai yang garing, sinetron, FTV, film box office, acara memasak sampai acara jalan-jalan disajikan lengkap di setiap kanal sejak pagi hingga pagi kembali. Selain itu ada program lawak yang memang khusus dibuat untuk memancing tawa. Mulai dari seorang jomblo yang menceritakan malam minggunya, para wayang yang dipimpin seorang dalang sampai lelucon slapstik bedak tabur. Namun, seringnya lelucon slapstik ini mengabaikan adab-adab dengan menjadikan kekurangan orang lain sebagai bahan lawakan. Lelucon pun menjadi paradoks, lucu bagi penonton dan penderitaan bagi yang dijadikan lelucon. Sederhananya, bergembira di atas penderitaan orang lain. Lebih lugas dipaparkan oleh dosen saya bahwa tabiat manusia memang senang melihat orang lain menderita. Bila kau melihat temanmu jatuh dari atas becak, kata beliau, jujur saja kau pasti akan tertawa lebih dahulu sebelum menolongnya.

Aksi demonstran pun bisa menjadi sumber kegembiraan. Mahasiswa yang berhasil memblokir jalan mungkin gembira dengan aksi mereka tanpa peduli betapa banyak pengguna jalan menderita karenanya. Demikian pula tawuran antar fakultas yang membuat kampus diliburkan tiga hari. Mahasiswa yang terlibat tawuran terbaring penuh luka di rumah sakit, di sebuah ruang kerja, seorang dekan sedang memijat kening memikirkan jalan keluar, dan di tempat lain, mahasiswa bersorak diberi hadiah libur tiga hari. Satu kata libur sudah cukup untuk menarik kegembiraan. Apalagi tiga hari berturut-turut.

Bila sedang jalan dengan sepupu, saya pun tak lepas dari hal-hal semacam ini. Kami bisa menertawakan berbagai hal, iklan di pinggir jalan, model motor yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa, model pakaian yang dipajang di etalase toko, kesalahan penulisan di spanduk sebuah salon atau warung makan, dan berbagai hal lain yag ditemui selama perjalanan. 

Pada situasi yang lain, kegembiraan bisa menjadi begitu sederhana. Cukup berkumpul dalam sebuah lingkaran kecil di akhir pekan, berbagi makanan yang dibawa dari rumah, saling cek hafalan lalu mendengarkan materi. Lebih sederhana lagi, kadang saya tidak perlu melakukan apapun selain mendengar. Suara ibu yang bertanya kabar lewat telepon, yang dilakukan hanya sekali atau dua kali dalam sebulan bisa meningkatkan interval kegembiraan saya beberapa persen.
 
;