Saya bukan tipe
manusia yang bisa mengerjakan sesuatu dengan rapi. Bila menggambar garis,
selalu bengkok. Bila mengetik, selalu ada kata kekurangan huruf. Bila menulis,
tulisan miring kiri kanan. Bila menyeduh teh, airnya tercecer kemana-mana. Bila
minum, belepotan. Bila menginput data, ada kotak yang terlewat. Bila menghapus
file, ada file lain yang ikut terhapus (ini ceroboh namanya). Satu-satunya
pekerjaan yang bisa dengan rapi saya kerjakan, seingat saya, adalah membungkus
buku.
Katanya, sesuatu yang dibiasakan lama kelamaan akan menjadi kebiasaan. Dulu saya paling tidak suka membungkus buku. Ribet dan memakan banyak waktu. Bila guru memerintahkan agar catatan dibungkus rapi dengan kertas kopi, saya yang paling akhir mengerjakan. Itu pun karena sudah bosan ditegur. Saya tidak suka kertas kopi, buku catatan jadi terlihat membosankan dengan warna yang monoton.
Saya lupa kapan mulai rajin membungkus buku. Kebiasaan ini muncul setelah sadar buku pun harus dirawat dengan baik. Karena keseringan membungkus buku, lama kelamaan gerak tubuh saya seperti sudah disetting sedemikian rupa hingga setiap ada buku baru, saya tidak akan melakukan pekerjaan lain sebelum membungkusnya. Bahkan saya berikrar tidak akan membaca apalagi meminjamkannya bila si buku belum dibalut plastik bening. Si buku akan lebih aman dengan adanya pelindung.
Kebiasaan ini berimbas bukan hanya pada buku saya. Tapi juga pada buku orang lain yang saya pinjam. Saya sering gemas bila meminjam buku teman yang ternyata belum -atau memang tidak akan- dibungkus. Gemas itu campuran dari keinginan untuk segera membacanya dengan perasaan tidak tega karena belum dibungkus. Akhirnya, sebelum membaca, saya putuskan membungkusnya terlebih dahulu. Teman yang tahu kebiasaan ini malah dengan sengaja meminjamkan buku yang baru dibelinya dengan harapan bila kembali nanti, buku itu sudah dibungkus. Sungguh terlalu dia.
Sebelum plastik gulung kecil beredar di toko alat tulis, saya masih memakai plastik yang dijual per meter. Plastik ini biasanya digunakan sebagai lapisan atas meja makan. Membungkus satu buku memakai plastik meteran bisa memakan waktu lama. Plastik yang kusut karena dilipat harus dirapikan dulu dengan setrika. Suhu setrika harus pas. Menyetrikanya pun harus dilapisi dengan kain tipis agar plastik tidak terbakar. Setelah plastik rapi, barulah proses membungkus dimulai. Itu pun memerlukan kesabaran ekstra karena plastik yang panas lebih sulit diatur. Kini, dengan adanya plastik gulung berukuran kecil yang sudah disesuaikan dengan panjang buku, pekerjaan membungkus menjadi lebih praaktis. Terima kasih kepada pabrik plastik atas inovasinya.
Katanya, sesuatu yang dibiasakan lama kelamaan akan menjadi kebiasaan. Dulu saya paling tidak suka membungkus buku. Ribet dan memakan banyak waktu. Bila guru memerintahkan agar catatan dibungkus rapi dengan kertas kopi, saya yang paling akhir mengerjakan. Itu pun karena sudah bosan ditegur. Saya tidak suka kertas kopi, buku catatan jadi terlihat membosankan dengan warna yang monoton.
Saya lupa kapan mulai rajin membungkus buku. Kebiasaan ini muncul setelah sadar buku pun harus dirawat dengan baik. Karena keseringan membungkus buku, lama kelamaan gerak tubuh saya seperti sudah disetting sedemikian rupa hingga setiap ada buku baru, saya tidak akan melakukan pekerjaan lain sebelum membungkusnya. Bahkan saya berikrar tidak akan membaca apalagi meminjamkannya bila si buku belum dibalut plastik bening. Si buku akan lebih aman dengan adanya pelindung.
Kebiasaan ini berimbas bukan hanya pada buku saya. Tapi juga pada buku orang lain yang saya pinjam. Saya sering gemas bila meminjam buku teman yang ternyata belum -atau memang tidak akan- dibungkus. Gemas itu campuran dari keinginan untuk segera membacanya dengan perasaan tidak tega karena belum dibungkus. Akhirnya, sebelum membaca, saya putuskan membungkusnya terlebih dahulu. Teman yang tahu kebiasaan ini malah dengan sengaja meminjamkan buku yang baru dibelinya dengan harapan bila kembali nanti, buku itu sudah dibungkus. Sungguh terlalu dia.
Sebelum plastik gulung kecil beredar di toko alat tulis, saya masih memakai plastik yang dijual per meter. Plastik ini biasanya digunakan sebagai lapisan atas meja makan. Membungkus satu buku memakai plastik meteran bisa memakan waktu lama. Plastik yang kusut karena dilipat harus dirapikan dulu dengan setrika. Suhu setrika harus pas. Menyetrikanya pun harus dilapisi dengan kain tipis agar plastik tidak terbakar. Setelah plastik rapi, barulah proses membungkus dimulai. Itu pun memerlukan kesabaran ekstra karena plastik yang panas lebih sulit diatur. Kini, dengan adanya plastik gulung berukuran kecil yang sudah disesuaikan dengan panjang buku, pekerjaan membungkus menjadi lebih praaktis. Terima kasih kepada pabrik plastik atas inovasinya.