“Karena pemikiran mereka lucu, lawan aja pake humor. Nggak usah pake dalil. Mereka nggak percaya sama dalil. Buang-buang energi…”
~Kyai Adung~
Sejak kapan orang islam berani ngomong bahwa Al Qur’an bukan lagi kitab
suci ?
Sejak kapan seorang profesor islam ngomong homoseks itu sehat dan halal
?
Sejak kapan keharaman menikah dengan nonmuslim dianggap sudah usang ?
Sejak kapan wanita bisa jadi khatib dan imam Jumat ?
Sejak kapan pula orang islam bisa seenaknya ngomong ada ‘Area Bebas
Tuhan’ ?
Beragam wacana pemikiran tersebut membuat kyai Adung, tokoh utama dalam
buku ini, galau stadium empat. Bagaimana tidak, pemikiran-pemikiran itu justru datang
dari kaum terpelajar, doktor, profesor, cendekiawan, dosen universitas islam,
bahkan dari seorang kyai. Sebagai orang kampung yang ingin mengambil peran
dalam melawan pemikiran konyol tersebut, kyai Adung pun mencari jalur lain,
yaitu dengan bercanda.
Buku terbitan Salsabila, Pustaka AlKautsar ini ditulis oleh Abdul
Mutaqim, seorang alumni fakultas tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dibeli
beberapa bulan lalu secara tak sengaja di Gramedia. Belakangan ini, buku yang
sangat ingin saya miliki terbitan Pustaka Alkautsar adalah Kisah Para Nabi-nya Ibnu Katsir. Tapi bila melihat daftar tugas, jadi
agak pesimis apa bisa membaca buku setebal itu dalam waktu dekat. Oh ya,
bedakan antara penerbit Pustaka Alkautsar dan penerbit Alkautsar. Cari tahu
sendiri di mana bedanya. Oke, lanjut.
Buku-buku ilmiah yang membahas kekeliruan paham liberal sudah banyak
diterbitkan, tetapi penyajian logika melawan logika yang dibalut humor masih
terbilang langka. Buku ini salah satunya. Berbagai wacana kontemporer terkait
pemikiran liberal disajikan dalam dialog ringan antara kyai Adung dengan berbagai
tokoh fiksi yang namanya aneh-aneh seperti Smeleketeh, Mesrowo bin Mesriwi atau
Nonong Dorong Jamidong. Masalah gender, Irsyad Manji, Lady Gaga, jilbab, adzan,
teori Darwin, Nietszche, sampai perkawinan sejenis diangkat dalam buku ini. Jawaban-jawabannya
masuk akal. Tetapi karena mengusung tema yang serius, porsi lucunya tidak bisa
disamakan dengan buku gokil lain semisal Jakarta Under Kompor. Humornya bisa
membuat senyum tapi tidak sampai guling-guling. Ya, karena buku ini memang ditujuan
untuk mengajak berlogika walaupun dengan unsur candaan.
Misalnya tentang Nietszche, seorang filsuf yang dikagumi banyak orang. Nietszche
adalah seorang ateis yang pernah berkata bahwa Tuhan telah mati. Tapi jadinya malah
aneh. Ya, kalau orang tidak percaya tuhan itu ada, lantas tuhan mana yang dia
maksud sudah mati ? Contoh lain, seorang pluralis yang mengatakan semua agama
sama benarnya. Hanya beda penyebutan nama Tuhan saja. Islam menyebut Allah,
Yahudi menyebut Yahweh. Tapi pluralis ini tidak konsisten dengan pemikirannya
bahwa Tuhan tidak masalah disebut dengan nama apapun. Bisa dilihat dari cara
shalatnya. Kalau konsisten, maka ketika shalat, dia harusnya bertakbir dengan ‘Yahwe
Hu Akbar’, bukan Allahu Akbar. Tapi toh, shalatnya juga tetap sama dengan yang
lain. Artinya, dia tidak konsisten sebagai seorang pluralis. Kira-kira seperti
itulah cara berdiskusi Kyai Adung dengan orang-orang liberal. Buku ini tebalnya
hanya 184 halaman, jadi bisa dikhatamkan sekali duduk.
Mengenai penamaan islam liberal, ustadz Adian Husaini dalam novelnya,
Kemi, menjelaskan bahwa islam dan liberal adalah dua kata yang berlawanan. Islam
bermakna tunduk dan patuh sementara liberal berarti bebas. Jadi, bila kedua
kata ini disandingkan maka akan terjadi kontradiksi. Karena itu bila ada yang
tetap ngotot dengan pemahaman liberalnya, disarankan sebaiknya buat saja paham
baru di luar islam. Sebab islam itu sudah murni, sudah jelas diterangkan dalam
Al Qur’an dan as sunnah.
***
Sebenarnya buku Kyai Kocak vs
Liberal ini tak sengaja saya temukan di antara deretan buku humor di
Gramedia. Niat awal memang hanya ingin mencari buku-buku lucu. Di sana tersedia
ratusan buku semacam itu, mulai dari cerita konyol seorang dokter co-ass,
cerita konyol anak kos-kosan, cerita konyol mahasiswa baru, cerita konyol saat
menyusun skripsi, cerita konyol para hantu, dan sejenisnya. Tapi, penulis gokil
yang benar-benar bisa membuat saya tertawa sampai sakit perut mungkin hanya si
penulis Jakarta Under Kompor dan Dumba-Dumba Gleter, om Arham Kendari. Humornya
kreatif, karikaturnya keren, sering menyentil isu-isu yang hangat dibicarakan. Pertama
kali baca bukunya yang berjudul Jakarta
Under Kompor itu sekitar tahun 2008, hasil pinjam dari sepupu.
Selama perjalanan pulang dari rumah sepupu, saya ketawa-ketiwi sambil menutup
mulut demi meredam suara. Penumpang angkot lain bergantian melirik saya di
sudut belakang. Tapi saya tidak peduli. Kalau sudah terlanjur ketawa, sulit
normal kembali. Penulis
yang satu ini beda dengan penulis gokil lain. Tema humornya luas mulai dari
politik,selebritis,kenangan masa kecil, masalah kondom, syiah, sampai kehidupan
sehari-hari. Tak melulu berputar di kehidupan jomblo seperti yang selalu dijadikan
tema untuk membuat lelucon. Si penulis juga jago membuat kartun
dan mengedit foto. Kalau tidak salah, salah satu foto editannya dijadikan sampul buku Boim Lebom. Tapi sayang, sampai tulisan ini diturunkan, si penulis
baru menerbitkan dua buku. Buku ketiga masih dalam proses katanya. Okelah,
ditunggu.