Bila sedang membaca novel atau menonton film berlatar sejarah, saya
sering membayangkan mesin waktu. Saya sudah pernah katakan sebelumnya,
saya sering dilanda perasaan aneh setiap kali mengakhiri bacaan atau
tontonan begenre sejarah. Rasanya seperti sulit untuk keluar dari sana.
Membuat saya seperti mengambang selama beberapa hari. Rasa itu sama
ketika saya melihat kumpulan foto hitam putih peninggalan kakek dan
nenek yang ayah simpan dalam peti “harta karun”-nya, atau yang terpasang
di dinding rumah peninggalan kakek.
Saya sering lama-lama memandang foto hitam putih itu sambil
menerka-nerka seperti apa kehidupan mereka sebelumnya. Dalam foto itu
mereka masih muda. Beberapa di antaranya sudah meninggal dunia dan saya
belum sempat bertemu mereka. Yang paling sering saya perhatikan adalah
bagian mata. Entah bagaimana menjelaskannya, saya melihat sinar mata
dalam foto-foto itu sangat berbeda dengan mata orang-orang yang saya
temui di masa sekarang. Seperti ada yang hilang dari mata orang-orang masa kini yang dimiliki orang-orang di masa lalu. Tapi tentu ini hanya
pendapat subjektif saya saja. Tidak usah terlalu dipikirkan.
Rumah tua peninggalan kakek terletak paling ujung di sebuah desa jauh
di pedalaman. Saya sering punya keinginan egois agar desa itu tidak
berubah sampai kapanpun. Tetap seperti itu selamanya. Mungkin karena
hanya di tempat ini saya merasa bisa “kembali ke masa lalu”. Suasana
malam di sana seakan terjebak waktu. Berapa kali pun kembali,
rasanya masih sama dengan malam belasan tahun sebelumnya.
Penerangan di sana juga masih memakai petromax atau lampu minyak.
Sepupu saya sering bercanda bahwa memasuki desa itu membuat siapapun
seperti pulang ke zaman kolonial. Bila purnama muncul, desa itu jadi
lebih terang, mirip suasana subuh. Kalau ditambah lolongan serigala,
desa itu benar-benar terlihat magis. Tapi selalu ada kegelapan yang
menenangkan di sana. Yang tidak akan saya temukan di tempat lain apalagi
di kota. Di sana ada bukit padang rumput yang luas. Pepohonan rimbun
dan gelap membentang di depannya. Makhluk nocturnal sering mengintai
dari sana. Bulan biasanya muncul dari balik pepohonan tadi. Pemandangan
jadi kontras antara sinar bulan, bayangan hitam hutan dan suara hewan
malam. Kalau bulan tidak muncul, langit di sana sesak oleh bintang yang
berserakan seperti kaca pecah. Saya suka menghabiskan malam dengan
berbaring telentang menatap langit sambil menggigit-gigit sebatang rumput.
Mungkin mesin waktu itu memang ada. Foto-foto hitam putih, desa yang
terlupakan dan langit yang ditinggalkan zaman. Ketiganya adalah “mesin
waktu” yang selalu bisa memulangkan saya ke masa lalu.