09 December 2012

Buya Hamka ; Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme

“Yang saya ingat  dari lisan almarhum papa saya dahulu adalah : ‘Jalanan di Jakarta hanya bisa sepi karena dua hal : Muhammad Ali bertanding, atau Hamka berpidato.’”
~Akmal Sjafril~ 


Buku berjudul Buya Hamka, Antara Kelurusan Aqidah dan Pluralisme ini merupakan adaptasi tesis karya Akmal Sjafril. Sebelumnya, ia juga menulis buku berjudul Islam Liberal 101. Keduanya merupakan buku-buku bertema pemikiran yang berupaya membendung gerakan liberalisasi islam. Buya Hamka dikenal sebagai ulama besar asli Indonesia yang sangat produktif menulis. Buku-buku beliau jika dikumpulkan bisa mencapai seratus jilid. Di antara seluruh karyanya, 30 jilid Tafsir Al Azhar merupakan karya paling monumental yang beliau rampungkan dalam tahanan penjara Orde Lama. Sayangnya, saat ini karya-karya beliau sudah banyak yang tidak diterbitkan lagi. Tujuan umum buku ini adalah untuk mengungkapkan kesalahan-kesalahan dari klaim pluralis yang sering dialamatkan pada Buya Hamka.

Bab pertama dibuka dengan menjabarkan bagaimana islam mendudukkan toleransi beragama serta menguraikan konsep ekslusif, inklusif dan pluralis. Bab kedua membahas biografi Buya Hamka mulai dari lahir, latar belakang keluarga, pendidikan yang ditempuhnya sampai menjadi ulama multitalenta. Bab ketiga khusus membahas tentang pluralisme agama yang digali sampai ke akar-akar sejarahnya, termasuk definisinya sendiri yang masih dianggap problematis. Bagian ini dilengkapi dengan penguraian tren-tren pluralisme seperti humanisme sekuler, teologi global, sinkretisme, hikmah abadi dan teosofi-freemasonry. Bab keempat membahas ayat-ayat yang sering dikutip pengusung pluralisme untuk mendukung pendapat mereka. Secara sederhana, argumen pluralisme yang menggunakan ayat-ayat Al Qur’an sebagai sandaran pemikirannya dikelompokkan ke dalam lima tema pokok, yaitu : (1) pluralitas sebagai kehendak tuhan, (2) keselamatan dapat ditemukan di semua agama, (3) adanya kesatuan risalah para nabi, (4) tidak ada paksaan dalam beragama dan (5) manusia tak berhak mengadili agama siapa yang benar. Bab ini diakhiri dengan kritik cendekiawan muslim terhadap kelima pemikiran tadi.

Bab kelima membahas konsep hubungan antar umat beragama menurut Hamka. Bab ini menelusuri secara rinci pandangan Hamka tentang definisi konsep agama, bagaimana Hamka menempatkan islam di antara agama-agama lainnya, bagaimana Hamka memandang aliran-aliran yang telah dinyatakan menyimpang dari Islam, bagaimana Hamka memandang aliran-aliran kepercayaan sinkretisme dan aliran yang lahir akibat kultus individu, bagaimana Hamka memandang komunisme, sekularisme dan pancasila serta bagaimana Hamka mengejawantahkan toleransi beragama. Bab keenam menguji klaim pluralisme dengan merinci bagaimana Hamka semasa hidupnya telah berhadapan langsung dengan konsep-konsep kunci pembentuk pluralisme seperti antroposentrisme atau relativisme. Bab terakhir membahas kekeliruan artikel atau makalah yang pernah ditulis oleh para pengusung liberalisme seperti Ahmad Syafii Maarif, Ayang Utriza NWAY dan Hamka Haq.

Buku ini berhasil menggambarkan keteguhan dan kelurusan ‘aqidah Buya Hamka serta membuktikan kekeliruan metode kaum liberalisme dalam mengambil kesimpulan penafsiran beliau, termasuk kesalahan fatal mereka dalam menafsirkan ayat Al Qur’an. Namun karena diadaptasi dari tesis, bahasa dalam buku ini agak ‘kaku’ bila dibandingkan karya sebelumnya (Islam Liberal 101). Banyak istilah-istilah ilmiah yang membuat saya harus mencari definisinya dari literatur lain. Tetapi bagi yang tertarik dengan tema ghawzul fikr (perang pemikiran), buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca.
 
;