“Cinta itu revolusi. Kepalamu bisa tiba-tiba terbalik seketika”
Cinta, sebuah tema yang tak penah lapuk digilas waktu. Ia dilukiskan
oleh para Nabi, ulama, penyair, filsuf, ilmuwan, seniman hingga orang
awam. Sedemikian kompleksnya hingga manusia menggunakan setidaknya lima
puluh istilah untuk mengungkapkan cinta, mulai dari al-Mahabbah (cinta
kasih) hingga at-Ta’abbud (Penghambaan). Cinta itu revolusi. Kalau hanya
sekadar suka atau merasa cocok, itu bukan cinta. Keduanya tidak cukup
untuk membuat kepalamu terbalik seketika. Cinta itu revolusi. Bukan
hanya kepala, seluruh hidupmu pun bisa terbalik 180 derajat. Seperti
Umar bin Khattab yang langsung mendatangi kediaman Abu Jahal, orang yang
paling keras memusuhi Nabi, dan dengan lantang menyerukan keislamannya.
Keislaman yang mendatangkan kehormatan dan kekuatan bagi orang-orang
muslim. Keislaman yang kemudian membuatnya dijuluki Al-faruq.
Cinta itu revolusi. Sebagaimana Mush’ab bin Umair, pemilik nama
paling harum di Makkah yang bercerai dari kemewahan hidup demi cinta
kepada Allah dan Rasul-Nya. Sehari makan, berhari-hari kelaparan. Jubah
usang penuh tambal-tambalan. Namun lewat tangannya penduduk Madinah
berduyun-duyun masuk Islam. Dialah pemegang bendera perang Uhud. Seorang
pemuda yang sedemikian melaratnya hingga saat syahid menjemput, ia tak
memiliki kain yang cukup untuk menutup seluruh tubuhnya.
Cinta itu revolusi. Sebagaimana Hindun binti ‘Utbah yang sesaat
setelah memproklamirkan keislaman, langsung mengambil palu dan
menghancurkan berhala di rumahnya hingga berkeping-keping. Memupus
noda-noda jahiliyah yang pernah melekati dirinya. Berbalik menjadi ahli
ibadah dan ikut membakar semangat kaum muslimin dalam perang Yarmuk.
Begitulah seharusnya cinta. Jangan sekadar suka atau merasa cocok, tapi
sesuaikan dengan syari’at. Bila diperintahkan berlepas diri, maka
tinggalkan. Cukupkan dengan apa yang telah ditetapkan. Cinta sejati itu
mengembalikan hati kepada keridhaan. Mengembalikan jiwa kepada ketenangan. Membalikkan kehinaan menuju kemuliaan.