Suatu waktu, seorang ayah pernah menulis pesan pada anaknya,
“Anakku, hari ini, usiamu genap sekian tahun. Ayah menulis ini
bukan untuk mengucapkan selamat. Hanya saja, ayah takjub, betapa
cepatnya waktu berlalu.”
Betapa cepat waktu berlalu. Betapa melenakan makhluk itu. Membuat kita acap kali melontarkan kalimat, “rasanya seperti baru kemarin”, sementara “kemarin”
yang dimaksud adalah suatu hari bertahun-tahun yang lalu. Besok usianya
genap mencapai angka yang dianggap sebagai titik kritis bagi perempuan
yang masih sendiri. Yah begitulah, orang-orang hanya melihat angka lalu
berkomentar sana-sini. Padahal itu di luar kendali manusia.
“Hidupku sudah cukup. Kupikir tak perlu ada tambahan orang lain dalam kesendirianku.”, katanya suatu hari. Yah, sepakat. Kita memang tak begitu mempermasalahkannya, tapi kita
hidup di tengah manusia yang selalu saja berkicau tentang waktu dengan
pertanyaan patennya, “Kapan ?”.
Untuk sepupuku yang ajaib, aku berharap kau dikaruniai mahram
bukan karena tuntutan waktu, tapi lebih agar kau tak lagi selalu
berkendara sendirian, atau terlelap kedinginan. Aku berharap ada
seseorang yang bisa membersamaimu dalam kesulitan. Seseorang yang bisa
melindungi dan menjagamu. Seseorang yang mampu mengisi ruang-ruang
kosong di sana, di hati.