11 February 2013

Kereta Perjuangan


“Jika perjuangan Islam diibaratkan dengan kereta, maka di mana posisi kita ?” 

Entah kenapa, setiap kali ustadz tersebut ceramah, kata-katanya seperti berubah menjadi air sementara saya berubah menjadi spons. Mudah meresap dalam hati. Pembawaan beliau yang senantiasa bersemangat pun ditularkan kepada pendengarnya. Sehingga tak jarang kalimat yang sebenarnya sederhana sanggup menerobos relung kesadaran. Kekuatan kata-kata mampu menembus apa-apa yang tidak dapat ditembus oleh jarum, kata Akbar Zainudin dalam Man Jadda Wajada. Pun hari itu, pertanyaan sederhana yang beliau ajukan, yang mungkin sudah umum terdengar dalam setiap ceramah bertema perjuangan, tapi ternyata memberikan efek yang jauh berbeda bila disampaikan oleh orang yang berbeda pula.

Umat islam akan menang, ini adalah janji Allah, sebuah keniscayaan. Kemenangan islam bukan diperoleh dengan bencana alam ataupun dengan mematikan para musuh. Tetapi kemenangan itu akan tegak dari perjuangan orang-orang yang beriman. Kemenangan akan tegak dari tangan-tangan mukmin yang benar tauhidnya, baik ibadah dan akhlaknya serta mereka yang tak ragu menukar harta dan jiwanya di jalan Allah. Jika perjuangan itu diibaratkan dengan kereta yang terus melaju, maka di mana posisi kita ? Apakah ikut dalam kereta hingga tujuan akhir atau memilih turun di stasiun pemberhentian ? Seseorang hanya akan berada di antara dua kemungkinan, menggantikan atau tergantikan. Pada kelompok mana kita akan bergabung ? Bila seseorang memilih menjadi yang tergantikan, maka yakinlah, ada sepuluh orang lain yang siap untuk menggantikan. Allah pasti akan memenangkan agama-Nya.

Saya terpekur mendengar kalimat demi kalimat yang meluncur dari lisan beliau. Ada rasa malu yang mekar jauh di dasar batin. Adakah yang telah saya berikan untuk agama ini ? Apa peran dan andil saya dalam perjuangan ini ? Bila menilik hari-hari yang berlalu, maka mungkin secuil pun tak ada. Dibanding mereka yang telah puluhan tahun merapatkan shaf perjuangan, patutlah saya malu. Ketika orang lain dengan cekatannya bergerak mengurus ummat, saya masih saja stagnan mengatur diri yang rasanya tak stabil-stabil juga. Ketika orang lain telah jauh melangkah di barisan terdepan, saya masih berkutat menyeret semangat yang naik turun seperti grafik sinus.

Murabbiyah saya sering menasihatkan bahwa agar bisa terus maju seseorang memang harus selalu mencambuk diri, berkelahi dengan rasa malas dan bosan. Kedua hal ini, malas dan bosan, akan bermunculan di sela-sela padatnya rutinitas. Pun setiap manusia akan senantiasa bertarung dengan apa-apa yang berasal dari dalam diri mereka. Manusia tidak hanya dianugerahi akal tetapi juga hawa nafsu, yang setiap saat bisa menjerumuskannya. Manusia bukan malaikat yang tak pernah melenceng sedikit pun. Untuk itu manusia selalu membutuhkan nasihat dikala terlupa. Agar semangat kembali bangkit untuk melanjutkan perjuangan. Dan agar kita tidak menjadi orang-orang yang tumbang tergantikan.

Ya muqollibal qulub tsabbit qalbi ‘ala diinik
(Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agamaMu)

0 komentar:

 
;