“Jika perjuangan Islam diibaratkan dengan kereta, maka di mana posisi kita ?”
Entah kenapa, setiap kali ustadz tersebut ceramah, kata-katanya
seperti berubah menjadi air sementara saya berubah menjadi spons. Mudah
meresap dalam hati. Pembawaan beliau yang senantiasa bersemangat pun
ditularkan kepada pendengarnya. Sehingga tak jarang kalimat yang
sebenarnya sederhana sanggup menerobos relung kesadaran. Kekuatan
kata-kata mampu menembus apa-apa yang tidak dapat ditembus oleh jarum,
kata Akbar Zainudin dalam Man Jadda Wajada. Pun hari itu,
pertanyaan sederhana yang beliau ajukan, yang mungkin sudah umum
terdengar dalam setiap ceramah bertema perjuangan, tapi ternyata
memberikan efek yang jauh berbeda bila disampaikan oleh orang yang
berbeda pula.
Umat islam akan menang, ini adalah janji Allah, sebuah keniscayaan.
Kemenangan islam bukan diperoleh dengan bencana alam ataupun dengan
mematikan para musuh. Tetapi kemenangan itu akan tegak dari perjuangan
orang-orang yang beriman. Kemenangan akan tegak dari tangan-tangan
mukmin yang benar tauhidnya, baik ibadah dan akhlaknya serta mereka yang
tak ragu menukar harta dan jiwanya di jalan Allah. Jika perjuangan itu
diibaratkan dengan kereta yang terus melaju, maka di mana posisi kita ?
Apakah ikut dalam kereta hingga tujuan akhir atau memilih turun di
stasiun pemberhentian ? Seseorang hanya akan berada di antara dua
kemungkinan, menggantikan atau tergantikan. Pada kelompok mana kita akan
bergabung ? Bila seseorang memilih menjadi yang tergantikan, maka
yakinlah, ada sepuluh orang lain yang siap untuk menggantikan. Allah
pasti akan memenangkan agama-Nya.
Saya terpekur mendengar kalimat demi kalimat yang meluncur dari lisan
beliau. Ada rasa malu yang mekar jauh di dasar batin. Adakah yang telah
saya berikan untuk agama ini ? Apa peran dan andil saya dalam
perjuangan ini ? Bila menilik hari-hari yang berlalu, maka mungkin
secuil pun tak ada. Dibanding mereka yang telah puluhan tahun merapatkan
shaf perjuangan, patutlah saya malu. Ketika orang lain dengan
cekatannya bergerak mengurus ummat, saya masih saja stagnan mengatur
diri yang rasanya tak stabil-stabil juga. Ketika orang lain telah jauh
melangkah di barisan terdepan, saya masih berkutat menyeret semangat
yang naik turun seperti grafik sinus.
Murabbiyah saya sering menasihatkan bahwa agar bisa terus maju
seseorang memang harus selalu mencambuk diri, berkelahi dengan rasa
malas dan bosan. Kedua hal ini, malas dan bosan, akan bermunculan di
sela-sela padatnya rutinitas. Pun setiap manusia akan senantiasa
bertarung dengan apa-apa yang berasal dari dalam diri mereka. Manusia
tidak hanya dianugerahi akal tetapi juga hawa nafsu, yang setiap saat
bisa menjerumuskannya. Manusia bukan malaikat yang tak pernah melenceng
sedikit pun. Untuk itu manusia selalu membutuhkan nasihat dikala
terlupa. Agar semangat kembali bangkit untuk melanjutkan perjuangan. Dan
agar kita tidak menjadi orang-orang yang tumbang tergantikan.
“Ya muqollibal qulub tsabbit qalbi ‘ala diinik”
(Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agamaMu)
0 komentar:
Post a Comment