12 February 2013

Penilaian : Pembuat vs Penikmat

“Tidak begitu, fren. Karena bagus, sulit atau indah menurut pembuat bisa saja tidak untuk penikmat. Pokoknya kamu yang tentukan. Titik.” 

Titik, kata yang menutup perdebatan kecil kami siang itu. Lagi-lagi saya menemukan paradoks di sini. Sering kita menuntut untuk diberi kebebasan memilih, tidak ingin dibatasi, tetapi tak jarang ketika kebebasan diperoleh, kita justru kebingungan menentukan pilihan di antara sederet kemungkinan. Seperti halnya kejadian siang itu, ketika dia membebaskan saya menetapkan sejumlah angka. Berulang kali saya menolak dengan alasan tidak punya kualifikasi untuk menilai karyanya. Ah, seni lukis, saya benar-benar buta akan bidang yang satu itu. Saya tidak tahu melukis, tidak mengerti teknik melukis dengan perpaduan warnanya, bahkan tidak pernah mengunjungi satu pun galeri lukisan. Sehingga meminta saya memberikan penilaian apalagi sampai menentukan ukuran harga sebuah karya lukis adalah sama seperti meminta mahasiswa jurusan Hubungan Internasional menjawab soal-soal fisika. Tidak tepat.

Tapi yang menarik adalah kalimat terakhirnya bahwa indah menurut pembuat belum tentu indah menurut penikmat. Bagus menurut pembuat belum tentu bagus menurut penikmat. Jika kita berada di posisi penikmat, entah penikmat buku, penikmat film, atau penikmat seni lainnya, maka penilaian akan sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Tergantung selera masing-masing. Contoh sederhana, film Twilight, kata teman saya sangat bagus. Kata saya, tidak juga. Sementara dwilogi novel Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas, kata saya luar biasa bagus sekali. Kata teman saya, lebay. Berbeda halnya jika berdiri di posisi pembuat atau penghasil karya, penilaian kemungkinan akan relatif sama. Sebab mereka menguasai bidang itu, paham seluk beluk di dalamnya dan yang paling penting, ada standar yang dijadikan acuan untuk menentukan apakah suatu karya bagus atau tidak. Itulah yang menyebabkan adanya perbedaan besar antara penilaian pembuat dengan penilaian penikmat.

Ambil contoh, TV Champion, sebuah tayangan dari Jepang yang menampilkan berbagai perlombaan seperti lomba membuat cake, lomba membuat rumah pohon, lomba membuat mie, dll. Juri dalam lomba tersebut biasanya diambil 100 atau 200 orang yang berasal dari berbagai latar belakang. Ada ibu rumah tangga, pekerja kantoran, siswa SMA, dan sebagainya. Seluruh juri tersebut adalah para penikmat karya yang dilombakan. Dalam sesi lomba membuat cake, ada satu peserta yang pernah khusus belajar membuat cake di Perancis. Peserta lain juga mengakui kemampuannya yang lebih unggul dibanding mereka. Ternyata berdasarkan hasil penilaian para juri, orang tersebut harus berpuas diri hanya menduduki posisi kedua.

Lain waktu ada perlombaan membuat rumah pohon. Dari tiga peserta yang lolos ke babak final, salah satu di antaranya membuat rumah pohon dengan desain yang jenius karena mengadopsi model sarang lebah yang digantung. Tetapi, lagi-lagi berdasarkan penilaian para juri (yang terdiri dari murid-murid sekolah dasar yang tidak tahu seluk beluk dunia arsitektur), orang tersebut harus puas duduk di posisi ketiga. Ternyata para juri tidak begitu butuh model yang sejenius itu, mereka hanya ingin rumah pohon yang sederhana, yang membuat mereka merasa nyaman seperti di rumah.

Seorang pembuat menghasilkan karya memang untuk dinikmati, sehingga wajar jika penilaian penikmat sedikit memberi gambaran apakah suatu karya bagus atau tidak. Kupikir benar juga kata-katanya tadi. Walaupun akhirnya saya tetap menolak menentukan ukuran rupiah hasil karyanya.
 
;