“Tidak begitu, fren. Karena bagus, sulit atau indah menurut
pembuat bisa saja tidak untuk penikmat. Pokoknya kamu yang tentukan.
Titik.”
Titik, kata yang menutup perdebatan kecil kami siang itu. Lagi-lagi
saya menemukan paradoks di sini. Sering kita menuntut untuk diberi
kebebasan memilih, tidak ingin dibatasi, tetapi tak jarang ketika
kebebasan diperoleh, kita justru kebingungan menentukan pilihan di
antara sederet kemungkinan. Seperti halnya kejadian siang itu, ketika
dia membebaskan saya menetapkan sejumlah angka. Berulang kali saya
menolak dengan alasan tidak punya kualifikasi untuk menilai karyanya.
Ah, seni lukis, saya benar-benar buta akan bidang yang satu itu. Saya
tidak tahu melukis, tidak mengerti teknik melukis dengan perpaduan
warnanya, bahkan tidak pernah mengunjungi satu pun galeri lukisan.
Sehingga meminta saya memberikan penilaian apalagi sampai menentukan
ukuran harga sebuah karya lukis adalah sama seperti meminta mahasiswa
jurusan Hubungan Internasional menjawab soal-soal fisika. Tidak tepat.
Tapi yang menarik adalah kalimat terakhirnya bahwa indah menurut
pembuat belum tentu indah menurut penikmat. Bagus menurut pembuat belum
tentu bagus menurut penikmat. Jika kita berada di posisi penikmat, entah
penikmat buku, penikmat film, atau penikmat seni lainnya, maka
penilaian akan sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Tergantung
selera masing-masing. Contoh sederhana, film Twilight, kata teman saya sangat bagus. Kata saya, tidak juga. Sementara dwilogi novel Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas,
kata saya luar biasa bagus sekali. Kata teman saya, lebay. Berbeda
halnya jika berdiri di posisi pembuat atau penghasil karya, penilaian
kemungkinan akan relatif sama. Sebab mereka menguasai bidang itu, paham
seluk beluk di dalamnya dan yang paling penting, ada standar yang
dijadikan acuan untuk menentukan apakah suatu karya bagus atau tidak.
Itulah yang menyebabkan adanya perbedaan besar antara penilaian pembuat
dengan penilaian penikmat.
Ambil contoh, TV Champion, sebuah tayangan dari Jepang yang
menampilkan berbagai perlombaan seperti lomba membuat cake, lomba
membuat rumah pohon, lomba membuat mie, dll. Juri dalam lomba tersebut
biasanya diambil 100 atau 200 orang yang berasal dari berbagai latar
belakang. Ada ibu rumah tangga, pekerja kantoran, siswa SMA, dan
sebagainya. Seluruh juri tersebut adalah para penikmat karya yang
dilombakan. Dalam sesi lomba membuat cake, ada satu peserta yang pernah
khusus belajar membuat cake di Perancis. Peserta lain juga mengakui
kemampuannya yang lebih unggul dibanding mereka. Ternyata berdasarkan
hasil penilaian para juri, orang tersebut harus berpuas diri hanya
menduduki posisi kedua.
Lain waktu ada perlombaan membuat rumah pohon. Dari tiga peserta yang
lolos ke babak final, salah satu di antaranya membuat rumah pohon
dengan desain yang jenius karena mengadopsi model sarang lebah yang
digantung. Tetapi, lagi-lagi berdasarkan penilaian para juri (yang
terdiri dari murid-murid sekolah dasar yang tidak tahu seluk beluk dunia
arsitektur), orang tersebut harus puas duduk di posisi ketiga. Ternyata
para juri tidak begitu butuh model yang sejenius itu, mereka hanya
ingin rumah pohon yang sederhana, yang membuat mereka merasa nyaman
seperti di rumah.
Seorang pembuat menghasilkan karya memang untuk dinikmati, sehingga
wajar jika penilaian penikmat sedikit memberi gambaran apakah suatu karya
bagus atau tidak. Kupikir benar juga kata-katanya tadi. Walaupun
akhirnya saya tetap menolak menentukan ukuran rupiah hasil karyanya.