Lama saya memandang kalender 2013 yang masih terasa wangi barunya
itu, menghitung-hitung hari, rupanya lebaran masih jauh. Masih ada waktu
enam bulan untuk sampai ke Idul Fitri. Ngomong-ngomong soal lebaran,
saya teringat kejadian H-1 idul adha tiga tahun lalu. Padatnya jadwal
kuliah membuat saya baru bisa pulang sehari sebelum lebaran. Sejak
malam, ibu sudah mengingatkan lewat telepon agar tidak terlambat bangun
karena jarak antara Unhas dan terminal lumayan jauh sementara bus
berangkat tepat jam 9 pagi. Saya mengangguk patuh. Siap, boss!
Keesokan harinya, selepas shalat subuh saya malah ketiduran dan
terbangun mendapati jam sudah menunjukkan pukul 8.00. Mulut saya jatuh
ke tanah, ternganga. Mampus! Saya langsung menerapkan strategi mandi
jaman LDK OSIS dulu yang tidak lebih dari tiga menit. Saat masih
kasak-kusuk memakai kaos kaki, tiba-tiba hp saya berdering. Di layar
tertera tulisan, “Ibu calling...”. Mampus stadium dua! Gemetar
saya mengangkat telepon itu. Sambil terseok-seok mencari angkot dengan
tangan kanan memegang tas dan tangan kiri memegang hp, saya terpekur
mendengarkan tujuh menit sari berita dari ibu terhadap keteledoran saya.
Telepon ditutup ketika jam sudah menunjukkan pukul 08.20. Saya
mencoba menelepon taksi tapi yang terdengar malah suara perempuan yang
tega-teganya berkata bahwa pulsa saya tidak cukup untuk melakukan
panggilan. Mampus stadium tiga! Setelah beberapa menit bengong putus
asa, sebuah angkot tak berpenumpang berhenti di depan saya. Saya
menjelaskan situasi saya pada sopir angkot itu, boleh dibilang saya
setengah curhat padanya. Si sopir yang ditemani anak perempuannya yang
kira-kira masih berusia 11 tahun, mengangguk paham dan menawarkan
mengantar saya langsung ke terminal. Tanpa ambil tempo saya mengiyakan
dan langsung loncat ke dalam angkot.
Selama perjalanan menuju terminal itulah suasana horor menyelimuti
angkot yang saya tumpangi. Si sopir ngebut gila-gilaan di jalan raya.
Nyalip kiri, nyalip kanan. Rem dan gas diinjak bergantian seperti main
game di Time Zone. Si anak sopir duduk dengan kalemnya sambil sesekali
berpegangan ketika bapaknya berbelok tajam di tikungan. Sementara di
belakang, tak berhenti saya merapal doa dalam hati sambil memegangi
jendela erat-erat karena angkot itu seperti diguncang gempa berkekuatan 9
SR. Jangankan sampai ke rumah, untuk sampai ke terminal dengan selamat
saja saya tidak yakin. Sementara itu sudah tak terhitung berapa kali
pihak perwakilan bus menelepon dan menanyakan keberadaan saya. Katanya,
saya adalah penumpang terakhir yang ditunggu. Bila pukul 09.30 saya
belum muncul di teminal, mereka tidak akan menunggu lebih lama lagi.
Berulang kali saya meminta maaf sampai berbusa rasanya.
Setelah melewati berbagai macam jalan pintas, akhirnya gerbang
terminal mulai terlihat. Tragisnya, tepat ketika memasuki terminal, bus
yang akan saya tumpangi sudah merayap keluar lewat gerbang lain. Mampus
stadium akhir! Di sinilah adegan konyol ala sinetron terjadi. Saya
melompat turun dari angkot dan membayar tanpa melihat lagi lembaran
berapa yang saya berikan. Sambil menjinjing tas, pontang-panting saya
berlari mengejar bus itu. Karena tidak terkejar juga akhirnya saya
menarik napas dalam-dalam dan berteriak sekencang-kencangnya,
“Berhentiiiiiiii...”
“Tungguuuuuuuu...”
“Tolong tunggu sayaaaaaaaaaa...!!!”
Teriakan itu menarik perhatian orang-orang di sekitar terminal.
Mereka bergantian menatap saya dan bus itu. Setelah paham situasi yang
saya alami, beberapa orang, mulai dari pedagang asongan, tukang becak,
penjual buah sampai ibu-ibu penjual jamu ikut berteriak membantu saya.
Beberapa lelaki dengan gesit berlari mengejar bus dan menggedor pintu
belakangnya. Akhirnya sopir bus menyadari apa yang terjadi. Dia
memperlambat kecepatannya kemudian perlahan-lahan berhenti. Saya
menyeret barang bawaan, mandi keringat dan megap-megap kehabisan napas.
Pintu belakang bus terbuka. Sebagian penumpang kasihan melihat saya dan
beberapa lainnya mengomel karena membuat mereka kelamaan menunggu.
Saya naik dengan memasang senyum selebar mungkin. Demi bertemu ayah, ibu
dan kedua adik saya, demi shalat jamaah di lapangan, demi silaturahim
dengan keluarga besar, demi ketupat, ayam goreng dan kawan-kawannya,
demi bertemu teman-teman SMA, demi ruang jingga dan demi rembulan di
langit dermaga, saya menulikan telinga dari omelan-omelan itu.
Beruntungnya, saya bertemu teman masa SMP yang berbaik hati membagi
tempat duduknya. Tiket kursi saya sendiri dianggap hangus. Entah siapa
yang mendudukinya saat itu. Bukan lagi hal penting karena setidaknya,
saya tidak ketinggalan bus. Alhamdulillah.