01 February 2013

Mengejar Bus

Lama saya memandang kalender 2013 yang masih terasa wangi barunya itu, menghitung-hitung hari, rupanya lebaran masih jauh. Masih ada waktu enam bulan untuk sampai ke Idul Fitri. Ngomong-ngomong soal lebaran, saya teringat kejadian H-1 idul adha tiga tahun lalu. Padatnya jadwal kuliah membuat saya baru bisa pulang sehari sebelum lebaran. Sejak malam, ibu sudah mengingatkan lewat telepon agar tidak terlambat bangun karena jarak antara Unhas dan terminal lumayan jauh sementara bus berangkat tepat jam 9 pagi. Saya mengangguk patuh. Siap, boss!


Keesokan harinya, selepas shalat subuh saya malah ketiduran dan terbangun mendapati jam sudah menunjukkan pukul 8.00. Mulut saya jatuh ke tanah, ternganga. Mampus! Saya langsung menerapkan strategi mandi jaman LDK OSIS dulu yang tidak lebih dari tiga menit. Saat masih kasak-kusuk memakai kaos kaki, tiba-tiba hp saya berdering. Di layar tertera tulisan, “Ibu calling...”. Mampus stadium dua! Gemetar saya mengangkat telepon itu. Sambil terseok-seok mencari angkot dengan tangan kanan memegang tas dan tangan kiri memegang hp, saya terpekur mendengarkan tujuh menit sari berita dari ibu terhadap keteledoran saya.

Telepon ditutup ketika jam sudah menunjukkan pukul 08.20. Saya mencoba menelepon taksi tapi yang terdengar malah suara perempuan yang tega-teganya berkata bahwa pulsa saya tidak cukup untuk melakukan panggilan. Mampus stadium tiga! Setelah beberapa menit bengong putus asa, sebuah angkot tak berpenumpang berhenti di depan saya. Saya menjelaskan situasi saya pada sopir angkot itu, boleh dibilang saya setengah curhat padanya. Si sopir yang ditemani anak perempuannya yang kira-kira masih berusia 11 tahun, mengangguk paham dan menawarkan mengantar saya langsung ke terminal. Tanpa ambil tempo saya mengiyakan dan langsung loncat ke dalam angkot.

Selama perjalanan menuju terminal itulah suasana horor menyelimuti angkot yang saya tumpangi. Si sopir ngebut gila-gilaan di jalan raya. Nyalip kiri, nyalip kanan. Rem dan gas diinjak bergantian seperti main game di Time Zone. Si anak sopir duduk dengan kalemnya sambil sesekali berpegangan ketika bapaknya berbelok tajam di tikungan. Sementara di belakang, tak berhenti saya merapal doa dalam hati sambil memegangi jendela erat-erat karena angkot itu seperti diguncang gempa berkekuatan 9 SR. Jangankan sampai ke rumah, untuk sampai ke terminal dengan selamat saja saya tidak yakin. Sementara itu sudah tak terhitung berapa kali pihak perwakilan bus menelepon dan menanyakan keberadaan saya. Katanya, saya adalah penumpang terakhir yang ditunggu. Bila pukul 09.30 saya belum muncul di teminal, mereka tidak akan menunggu lebih lama lagi. Berulang kali saya meminta maaf sampai berbusa rasanya.

Setelah melewati berbagai macam jalan pintas, akhirnya gerbang terminal mulai terlihat. Tragisnya, tepat ketika memasuki terminal, bus yang akan saya tumpangi sudah merayap keluar lewat gerbang lain. Mampus stadium akhir! Di sinilah adegan konyol ala sinetron terjadi. Saya melompat turun dari angkot dan membayar tanpa melihat lagi lembaran berapa yang saya berikan. Sambil menjinjing tas, pontang-panting saya berlari mengejar bus itu. Karena tidak terkejar juga akhirnya saya menarik napas dalam-dalam dan berteriak sekencang-kencangnya,
 “Berhentiiiiiiii...”
“Tungguuuuuuuu...”
“Tolong tunggu sayaaaaaaaaaa...!!!”
Teriakan itu menarik perhatian orang-orang di sekitar terminal. Mereka bergantian menatap saya dan bus itu. Setelah paham situasi yang saya alami, beberapa orang, mulai dari pedagang asongan, tukang becak, penjual buah sampai ibu-ibu penjual jamu ikut berteriak membantu saya. Beberapa lelaki dengan gesit berlari mengejar bus dan menggedor pintu belakangnya. Akhirnya sopir bus menyadari apa yang terjadi. Dia memperlambat kecepatannya kemudian perlahan-lahan berhenti. Saya menyeret barang bawaan, mandi keringat dan megap-megap kehabisan napas. Pintu belakang bus terbuka. Sebagian penumpang kasihan melihat saya dan beberapa lainnya mengomel karena membuat mereka kelamaan menunggu.

Saya naik dengan memasang senyum selebar mungkin. Demi bertemu ayah, ibu dan kedua adik saya, demi shalat jamaah di lapangan, demi silaturahim dengan keluarga besar, demi ketupat, ayam goreng dan kawan-kawannya, demi bertemu teman-teman SMA, demi ruang jingga dan demi rembulan di langit dermaga, saya menulikan telinga dari omelan-omelan itu. Beruntungnya, saya bertemu teman masa SMP yang berbaik hati membagi tempat duduknya. Tiket kursi saya sendiri dianggap hangus. Entah siapa yang mendudukinya saat itu. Bukan lagi hal penting karena setidaknya, saya tidak ketinggalan bus. Alhamdulillah.
 
;