“Penolakan terhadap ‘dominasi kebenaran’ atau ‘kebenaran absolut’, pada hakikatnya adalah penolakan terhadap kebenaran itu sendiri”
Sejak awal duduk di bangku kuliah, saya sadar bahwa dunia kampus terisi banyak sekali warna, tidak lagi sehitam putih saat masih SMA. Bertahun-tahun lalu pemikiran liberal telah menancapkan kukunya ke sendi-sendi pendidikan, ke sekat-sekat otak para intelektual kampus. Sebuah fenomena yang menarik diamati sekaligus harus dibendung karena gerakan yang menyebut diri mereka sebagai manusia-manusia intelek dan berdiri di atas rasionalitas ini pada dasarnya telah menginjak-injak dan menghina kesucian agama islam. Sementara pelakunya bukan orang luar melainkan para santri yang dulunya shaleh. Buku berjudul Islam Liberal 101 yang ditulis oleh Akmal Sjafril ini adalah salah satu dari sekian upaya yang dilakukan untuk membendung gerakan tersebut.
Saya berhasil membaca buku ini setelah membujuk, memelas, memohon sampai ‘mengancam’ pemiliknya. Sebenarnya saya disodorkan dua buku bertema pemikiran untuk dibeli. Tapi karena tidak mampu membeli dua-duanya, maka saya harus memilih salah satu. Tanpa banyak pertimbangan saya memutuskan untuk membeli buku yang kedua, Buya Hamka (Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme). Sementara untuk buku pertama saya tidak punya jalan lain selain meminjam atau lebih tepatnya memaksa meminjam. Si pemilik buku setengah hati meminjamkan karena ia pun baru membelinya beberapa jam sebelumnya. Tapi dengan taktik dan strategi ala kumpeni, maka buku itu akhirnya berpindah tangan. Dia memberi saya waktu dua hari untuk mengkhatamkan. Pada hari ketiga bukunya belum saya kembalikan, belum khatam soalnya. Dia mulai mengeluarkan ultimatum. Baru pada hari kelima buku itu saya kembalikan. Dia misuh-misuh. Hehehe (Afwan Dani...^_^)
Oke deh, tidak usah panjang-panjang. Berikut ringkasan bukunya. Let’s bekicot...
Bab pertama buku ini menguraikan fenomena ghazwul fikriy dan karakter-karakternya. Ghazwul fikriy atau “Perang pemikiran” adalah perang yang menggunakan data-data sebagai senjata dan argumen sebagai amunisinya. Kemenangan ditentukan bukan dari jumlah korban jiwa tapi dilihat dari jumlah pendukung. Sudah menjadi sunnatullah bahwa akan ada pihak-pihak yang selalu menghalangi dan mengolok-olok orang-orang yang memberi peringatan. Sejarah ghazwul fikriy dapat dilihat dalam kisah nabi Ibrahim dan kaumnya ketika beliau menghancurkan berhala atau pada masa Rasulullah yang dakwahnya mendapat penentangan keras dari paman-paman beliau.
Semua penghalang itu tak lepas dari proyek ambisius iblis yang mencari pengikut setelah dilempar keluar dari surga. Seruan Iblis kepada manusia untuk melawan Allah telah terbukti dengan munculnya orang-orang sedurhaka Friedrich Nietzsche (“God is Dead”), Karl Marx (“Religion is the opium of the people”) atau Fir’aun (“Aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku”). Atau pada insiden penistaan yang dilakukan para mahasiswa islam di kampus Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) tahun 2004 ketika menyambut maba dengan ucapan, “Selamat bergabung di area bebas Tuhan!”. Dan parade kejahilan itu ditutup dengan seruan lantang, “Kita dzikir bersama, anjinghu akbar”
Pemikiran sekuler barat menganggap agama telah ketinggalan zaman, sekedar cerita supranatural yang diwariskan dari nenek moyang. Dzikir mereka anggap sebagai ‘pelarian’ karena tidak mampu memecahkan masalah. Orang-orang yang menyerukan jihad dianggap sebagai “ekstremis” atau teroris. Mereka yang mengadopsi pemikiran ini adalah musuh dalam selimut yang kapan saja siap menusuk hamba Allah yang sejati. Mereka mungkin ada di sekitar kita, berbicara dan bersikap seperti orang beriman, namun tidak pernah tunduk kepada Allah dengan ketundukan yang sebenarnya.
Bab kedua membahas pemikiran-pemikiran Barat yang dibawa masuk ke dalam wacana pemikiran Islam, mulai dari sekularisme, pluralisme, dan wacana islam liberal. Sekularisme lahir dari rahim pemikiran barat, dilatari oleh sejarah hegemoni gereja Katolik setelah Kaisar Konstantin mendamaikan agama pagan dengan penganut agama kristen. Dalam konsili Nicea yang diusulkan Konstantin dirumuskan teologi kristen, antara lain seputar ketuhanan Yesus. Setelah kekaisaran Romawi runtuh, gereja tetap tegak di seluruh Eropa dan memiliki otoritas penuh dalam segala hal termasuk mengangkat, memecat dan mengasingkan raja-raja bahkan mengutuknya bila perlu.
Pada masa inilah muncul sebuah noktah hitam yang tak pernah bisa dihapus dari sejarah, yaitu Inkuisisi (Inquisition), sebuah lembaga yang dibentuk oleh gereja untuk menindak siapapun yang melawan titah gereja, termasuk dengan cara-cara pemaksaan, pengancaman, pembunuhan bahkan penyiksaan. Ruang-ruang penyiksaan dibuat khusus dalam biara-biara dengan penyiksaan yang berbagai variasi seperti pembakaran hidup-hidup, pencungkilan mata, penggergajian tubuh manusia, pemotongan lidah, peremukan kepala, penusukan vagina dan siksaan tak beradab lainnya. Kebanyakan korban inkuisisi adalah perempuan. Diperkirakan dua hingga empat juta perempuan dibakar hidup-hidup dalam kurun waktu 350 tahun.
Hal ini memicu lahirnya perlawanan dari masyarakat Kristen sendiri. Pada 31 Oktober 1517, Martin Luther King menempelkan 95 poin pernyataan di pintu gereja sebagai simbol perlawanan terhadap Paus. Ia kemudian mengembangkan ajaran tersendiri yang terlepas dari kekuasaan Paus. Perseteruan antara Katolik dan Protestan di Perancis melahirkan tragedi yang dikenal dengan The St. Bartholomew’s Day Massacre. Tragedi pembantaian kaum Protestan oleh kaum Katolik ini menelan korban lebih dari 10.000 jiwa baik dewasa, orang tua maupun anak-anak. Selain mencampuri urusan politik, Gereja pada abad pertengahan juga memiliki otoritas penuh untuk memasuki ranah sains. Ilmuwan yang mengemukakan teori-teori yang berlawanan dengan doktrin Bibel bisa dihukum mati. Akibatnya ilmu pengetahuan pada masa itu tidak dapat berkembang pesat.
Tragedi-tragedi inilah yang menyebabkan masyarakat Barat begitu trauma dengan agama. Istilah “agama” senantiasa membangkitkan kesan tentang Inkuisisi, takhayul, lemah akal, tidak rasional, dogmatis, sifat munafik, merasa benar sendiri, tindak kekerasan, pembakaran hidup-hidup, pembakaran buku, ketakutan dan kegilaan. Persepsi ini kemudian melahirkan pandangan yang memukul rata semua agama sebagai sesuatu yang harus dipisahkan dari ranah politik. Juga mendorong terjadinya penafsiran terbuka terhadap Bibel. Agama menjadi kutub yang berlawanan dengan sains dan iman berlawanan dengan rasio. Sekularisasi menyapu Eropa tanpa ampun. Ada tiga dimensi sekularisasi yaitu penghilangan pesona dari alam, peniadaan kesucian dan kewibawaan agama dari politik, dan penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dari kehidupan. Bab ini juga membahas tentang sejarah infiltrasi dan pluralisme agama di Indonesia beserta tokoh-tokoh pendukungnya. Serta tak ketinggalan pembahasan tentang kontradiksi istilah Islam Liberal itu sendiri.
Bab ketiga membahas tentang modus operandi yang biasa digunakan oleh kalangan liberalis yang bisa dirunut hingga ke dasar pemikirannya. Mereka sering menggunakan permainan istilah untuk memecah belah umat Muslim seperti istilah liberal, progresif, kontekstualis, literalis, plurails, fundamentalis, revivalis, tradisionalis, modernis, emansipatoris, ekstremis, radikalis. Orang-orang yang menolak paham liberal akan dicap radikal, fundamentalis, teroris hingga akhirnya disebut Wahabi. Modus lain yang digunakan adalah dengan memotong-motong ayat dan menyembunyikan sisanya sehingga lahirlah pemahaman yang salah.
Bab empat membahas komentar-komentar yang kerap dilontarkan kalangan liberal dalam diskusi-diskusi seperti “Jangan mendominasi kebenaran”, “Saya tidak mau mengobral ayat suci”, “Jangan anti perbedaan”, “Agama tidak mengurusi seksualitas manusia”, “Tuhan tidak perlu dibela” dan masih banyak lagi. Bagian ini berfungsi sebagai bekal bagi pembaca untuk menghadapi retorika-retorika mereka yang sering berulang.
Bab terakhir secara khusus membahas seputar surah Al-Munaafiquun. Pada bab ini pembaca diajak untuk melihat bagaimana Al-Qur’an membimbing kita untuk menghadapi orang-orang munafik, juga menyorot bagaimana kemunafikan-kemunafikan kontemporer yang sering dijumpai sekarang sebenarnya telah lama diberitakan dalam Al-Qur’an.
Buku yang lahir sebagai salah satu upaya merespon gerakan liberalisasi pemikiran islam ini menggunakan bahasa yang mudah dicerna serta menampilkan data yang akurat. Buku ini telah dicetak ulang sampai tiga kali dalam kurun waktu satu tahun dan telah dibedah di berbagai kampus di Indonesia. Bahkan juga pernah dibedah oleh mahasiswa islam yang kuliah di Nanyang Technological University (NTU), Singapura. Buku ini dapat dikonsumsi oleh seluruh kalangan baik ustadz, santri, mahasiswa sampai orang awam. Terlebih bagi mereka yang terus memperjuangkan dien ini.