06 January 2013

Serendipity

“Some people feel the rain. Others just get wet” 
~Bob Marley~ 

6 Januari 2013. Yup, tanggal hari ini. Masih tentang hujan. Hujan membuat kebanyakan tulisan para blogger tidak jauh-jauh dari tema itu. Setidaknya begitulah judul postingan para tetangga yang tertera di daftar dasbor blog saya. All about rain. 


Hari ini saya kembali berkeliaran di jalan raya. Niat hati ingin ke Aesculapius membeli buku statistik, sayangnya hujan mendamparkan saya di depan Grahamedia Mart. Banyak hal yang saya temui selama perjalanan tadi. Jalan raya memang panggung nonstop 24 jam. Kau bisa menemukan apa saja di sana. 

Sewaktu keluar rumah, cuaca masih terik. Masih ada sedikit keramahan matahari yang sampai ke bumi. Sempat dilema antara langsung menuju Aesculapius atau berbelok dulu ke toko kue yang ada di pintu 2 Unhas. Sudah beberapa hari ini bayangan donat terus menari-nari di kepala saya. Apalagi kalau hujan turun, ingin rasanya meminjam Pintu Ke Mana Saja-nya Doraemon agar menghubungkan kamar saya dan toko kue itu. 

Karena awan hitam sudah menggantung di langit, jadi saya putuskan langsung ke Aesculapius saja. Ternyata jalan raya depan Pintu 1 sedang macet. Ada kampanye calon gubernur, kata supir angkot yang mendadak ganti profesi jadi pengatur lalu lintas. Angkotnya sendiri dititip di SPBU dekat situ. Dengan kondisi jalan yang semacet itu saya jadi ragu bisa sampai ke Aesculapius sebelum hujan turun. Tapi kadang otak saya sering tidak nyambung dengan reaksi gerakan yang muncul. Otak saya bilang, “Sudah, pulang sana. Beli bukunya lain kali saja.” Yang ada tangan saya malah tancap gas. Saat sadar, saya sudah terjebak di antara puluhan mobil yang bergerak dengan kecepatan siput. 

Bumi meremang, hawa dingin berhembus, matahari sudah kalah. Sambil nyelip kiri kanan saya merutuki diri, “Harusnya kau pulang saja tadi.” Tapi semua sudah terlanjur. Saya sudah berada di tengah kemacetan. Tidak bisa mundur lagi. Jadi jika ada yang bertanya, apa kau pernah berada dalam situasi di mana tidak ada pilihan selain maju terus ? Maka macet adalah situasi yang dimaksud. 

Saat masih sibuk nyelip-nyelip di tengah kerumunan mobil, hujan turun dengan kalemnya. Saya celingak-celinguk mencari tempat berteduh kalau-kalau kekaleman si hujan berubah jadi beringas. Dan benar saja, lima menit kemudian air seperti tumpah dari langit. Saya buru-buru memarkir motor dan berteduh di salah satu toko penjual pulsa. Saat mengibas-ngibas jaket, saya baru sadar kalau orang-orang yang berteduh di sana kebanyakan laki-laki berambut gondrong. Saya melirik helm yang mereka pegang bertuliskan “MAHASISWA TEKNIK”. Saya jadi kikuk dan pelan-pelan menggeser kaki ke tepi jalan dengan risiko terkena hujan. Untunglah salah satu dari mereka memilih pindah sehingga memberi saya ruang yang lebih leluasa. 

Beberapa menit kemudian hujan mereda. Saya tancap gas lagi. Aesculapius sudah dekat. Tapi baru sampai depan STIMIK Dipanegara, hujan turun kembali. Saya memilih berteduh di depan Grahamedia, toko buku yang punya halaman parkir luas dan berdampingan dengan dua tempat karaoke. Ngomong-ngomong tentang karaoke, saya pernah bertanya ke salah satu teman, apa yang membuatnya rajin datang ke tempat semacam itu. Dia menjawab, selain latihan tarik suara, karaoke membuatnya bebas berteriak bila ada masalah. Oh, begitu ternyata alasannya. Baik, kita kembali. Sampai mana tadi ? Ah, ya sampai Grahamedia. Jalan raya depan Grahamedia sudah berubah jadi kolam susu cokelat. Air setinggi lutut mengisi kedua ruas jalan. Beberapa pengendara motor nekat jalan terus. Di tempat itu terjadi akumulasi kejadian seputar banjir. Mulai dari mesin motor yang mati, mobil yang mogok, pengendara yang jatuh sampai pemancing ikan. Saya menontonnya dari halaman toko. Banyak hal-hal lucu terjadi di sini. 

Tanah kosong yang berubah jadi kolam di samping toko dimanfaatkan oleh seorang bapak untuk mengail ikan. Bapak itu tenang-tenang saja dengan kesibukannya padahal beberapa meter di depannya ratusan pengendara sedang berjuang keluar dari banjir. Saya senyum-senyum melihat pemandangan itu. Beberapa menit kemudian muncul pengendara motor dengan style yang aneh-aneh. Ada yang membungkus dirinya dengan kantong plastik super besar. Mengingatkan saya pada bantal yang biasa dijual dari rumah ke rumah. Yeah, saat ini kita memang harus berhemat. Tak ada jas hujan, kantong plastik pun jadi. Ada pula pengendara yang menghiasai motornya dengan daun-daun dan ranting pohon. Saya tutup mulut menahan tawa. Entah untuk apa daun-daun dan ranting itu. Saya berhipotesa bahwa mungkin itu semacam cara tradisional menangkal hujan. 

Sementara itu pengendara lain sibuk memotret kiri kanan. Ekspresinya mengingatkan saya pada mimik anak SD yang baru pertama kali dibawa ke museum sejarah, excited. Setelah itu mereka pun berseru satu sama lain, “Upload, cepat upload di facebook!!!” Hehehe, susah-senang yang penting upload dulu, begitulah kira-kira prinsipnya. Pokoknya mulai dari yang muda, ibu-ibu sampai kakek-kakek sama-sama asyik memotret banjir. Sepertinya banjir adalah barang yang langka di kota ini. Saya juga sangat ingin memotret fragmen tadi. Sayangnya, saya tidak punya kamera. Kemampuan hp juga hanya berkisar sms, telepon dan penerangan. Orang-orang menyebutnya hp Komunikater, komunikasi dan senter. Beberapa saat kemudian suara sirine bergaung, tim SAR berpakaian oranye-hitam melintas buru-buru. Sepertinya terjadi sesuatu yang tidak baik. Belakangan ini saya dapat sms jarkom tentang bencana banjir yang menimpa beberapa wilayah. Dibutuhkan bantuan berupa makanan dan obat-obatan. Siapa pun yang ingin menyalurkan bantuan bisa menghubungi Unit Sosial Lembaga Muslimah DPD Makassar. 

Akhirnya, adzan pertanda masuk waktu ashar berkumandang. Aesculapius ternyata tutup. Saya basah kuyup. Well, tidak masalah, saya menemukan hal lain yang lebih penting. Anggap saja semacam serendipity. Dalam perjalanan pulang saya berpapasan dengan seorang teman yang memakai jas hujan dan terlihat sedang buru-buru. Melihat saya, dia langsung turun dari motornya dan menyodorkan kantong plastik. 
“Donat buat kamu,” katanya 
Saya bengong. Sedetik kemudian saya tersenyum. God always gives us what we need, in time. Alhamdulillah, setelah beberapa hari bayangan kue itu hanya menari-nari di kepala, kini sosoknya benar-benar nyata di hadapan saya. Segala puji bagi Allah atas semua nikmat yang tak mungkin bisa dihitung. Untuk si Pembawa Donat, terima kasih ya. Semoga Allah membalasmu dengan yang lebih baik. Aamiin. 

Selamat menikmati hujan hari ini. Jangan lupa langitkan doa-doa, doa agar mendapat kebaikan dan agar terhindar dari keburukan Dan jangan lupa pula uluran tangan untuk saudara-saudara kita yang terkena banjir.
 
;