Hari sabtu kemarin, di mesjid kampus diadakan Tabligh Akbar bertema
Penaklukan Konstantinopel. Tema sejarah, tema yang saya suka. Sayangnya
saya tidak bisa duduk tenang mendengar materi seperti peserta lainnya
karena bertugas di pos panitia. Beberapa hari sebelumnya, saat
membolak-balik majalah Qiblati saya menemukan kisah tentang vonis potong
tangan untuk Sultan Muhammad al-Fatih, Sang Penakluk Konstantinopel
(Istambul), di salah satu rubriknya. Karena tidak punya catatan materi
Tabligh Akbar, jadi saya bagikan saja kisah yang ditulis oleh Syekh
Mamduh Farhan al Buhairi dalam majalah itu. Selamat membaca.
Dalam kitab Rawai’ min at-Tarikkh al-‘Usmani diriwayatkan sebuah
kisah yang menggambarkan keadilan kaum muslim meskipun terhadap pemeluk
agama lain. Kisahnya berawal ketika Sultan Muhammad al-Fatih
memerintahkan untuk membangun sebuah Masjid di Kota Istambul. Sultan
menunjuk seorang arsitek berkebangsaan Romawi, Abslante yang terkenal
hebat saat itu, menjadi konsultan pembangunan Masjid tersebut.
Di antara perintah Sultan ialah pilar-pilar Masjid harus terbuat
dari batu pualam dan dibuat tinggi agar Masjid terlihat megah. Sultan
sendiri yang menentukan ukuran tinggi pilar-pilar tersebut. Namun karena
beberapa hal, sang arsitek memerintahkan pelaksana pembangunan untuk
mengurangi ketinggian yang ditetapkan Sultan tanpa berkomunikasi
terlebih dahulu dengan beliau. Begitu mendengar hal itu, Sultan sangat
marah, karena menurutnya pilar-pilar yang dibawa dari tempat yang jauh
jadi tidak bermanfaat sama sekali. Saking marahnya, dia perintahkan
untuk memotong tangan arsitek tersebut.
Penyesalan arsitek tidak berguna karena tangannya terlanjur
dieksekusi. Tetapi dia tidak tinggal diam menerima keputusan itu, ia pun
memperkarakan Sultan kepada qadi Istambul, Syekh Sari Khadr Jalbi yang
kesohor adil di seantero imperium Turki Usmani. Arsitektur tersebut
mengadukan perintah zalim Sultan. Qadi Sari Khadr ternyata tidak bimbang
sedikit pun dalam menerima dan memproses pengaduannya, bahkan beliau
langsung mengutus seseorang memanggil Sultan supaya datang ke pengadilan
karena ada gugatan yang diterimanya dari salah satu rakyat.
Sultan juga tidak segan memenuhi panggilan qadi, karena Sultan
paham lebih berkewajiban untuk menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.
Hadirlah Sultan pada hari yang telah ditentukan. Setelah masuk ruang
sidang ia memilih kursi untuk duduk, maka sang qadi berkata padanya,
“Anda tidak diperkenkan duduk di sini, tapi anda harus berdiri di
sebelah orang yang berperkara dengan anda!”
Sultan Muhammad Fatih pun berdiri di sisi orang Romawi itu, yang
kemudian menjelaskan pada qadi duduk perkara yang menimpanya. Pada
gilirannya sang Sultan membenarkan apa yang diadukan orang Romawi
tersebut, kemudian diam menunggu keputusan sang qadi. Sejenak kemudia
qadi Sari Khadr memandang Sultan dan berkata, “Sesuai dengan hukum
syar’i, maka anda dihukum potong tangan berdasarkan qisas!”
Arsitek Romawi itu tidak percaya mendengar vonis ini, seluruh
tubuhnya bergetar mendengar, tidak pernah terpikir dan terbayang olehnya
bahwa qadi berani memberi sanksi seberat itu. Muhammad al-Fatih,
penakluk Konstantinopel yang menggentarkan seluruh Eropa dihukum potong
tangan oleh hakimnya sendiri karena tuntutan seorang Romawi yang
Nasrani. Menurut perkiraannya qadi tidak lebih berani daripada
memerintahkan Sultan untuk memberi ganti rugi saja. Dia terpana, lalu
dengan gugup dia menyatakan mencabut tuntutannya, dia hanya berharap
diberi ganti rugi, karena hukuman potong tangan untuk Sultan tidak
memberi manfaat apa-apa kepadanya. Qadi Sari akhirnya memutuskan Sultan
berkewajiban membayar ganti rugi sebesar sepuluh koin setiap hari seumur
hidupnya, sebagi ganti rugi atas kerugian yang begitu besar yang
dideritanya. Tapi Sultan Muhammad al-Fatih memberikan dua puluh koin
setiap harinya sebagai ungkapan gembiranya telah selamat dari hukuman
qisas potong tangan, dan penyesalan atas perbuatannya.
Sungguh indah sejarah Islam kita ketika berbicara tentang para khilafah dan sultan yang adil.