Jari telunjukku mengetuk-ngetuk meja. Kubaca tulisan itu dari awal
sampai akhir. Begini mungkin sudah cukup, pikirku. Lebih dari cukup.
Kulirik gelas plastik kosong yang sebelumnya berisi es teler Tanah Abang
dan teringat percakapan dengan seseorang di dunia maya beberapa bulan
lalu.
“Kau tahu aku tidak bisa melakukannya”
“Tentu saja kau bisa”
“Ya, dan membuatku terlihat konyol”
“Mungkin, tapi tidak bagiku”
“Lalu setelah itu ?”
“Tidak ada. Aku hanya ingin membacanya”
“Membaca kekonyolan ?”
“Anggap itu tidak nyata, dan kau tidak akan terbebani apapun.”
“Justru karena itu”
“Aku tidak ingin berdebat, kawan. Aku hanya menagih janji. Kau tidak lupa, kan?”
“Aku bercanda saat itu.”
“Sayangnya aku tidak. Aku orang yang serius. Dan kaku. Seperti katamu.”
“Tapi...”
“Tidak ada tapi. Tulis apa yang ada di kepalamu. Yang paling
menggelikan sekalipun.”
***
Perutku mulas mengingat percakapan hari itu. Kurasa aku butuh teh Poci
dengan tiga sendok susu kental manis dan kekuatan yang berlipat-lipat
untuk memulainya. Tapi sudahlah, akan kubuat singkat saja. Toh, tidak
ada aturan mengenai jumlah halaman. Begitu menyelesaikan kalimat
terakhir, aku menghela napas panjang. Entah lega atau malah tambah
terbebani. Aku memang buruk untuk hal-hal seperti yang dia katakan.
Kubaca tulisan menggelikan itu sekali lagi. Dan perutku dilanda mulas
kembali. Sekarang dia mungkin sedang terguling-guling di seberang sana
membaca tulisan ini.