05 January 2013

Kompromi dan Aturan Jalan-jalan

Sepupu saya mengabarkan dalam waktu dekat ini dia akan mengikuti sebuah tur ke beberapa negara. Saya orang pertama yang diberitahu. Sementara yang lainnya belum, tunggu waktu yang tepat, katanya. Bepergian mengunjungi banyak tempat dan bertemu orang-orang baru adalah salah satu obsesi kami. Kami adalah penggila novel-novel Andrea Hirata, terlebih cerita perjalanan keliling dunianya menjadi backpacker yang dituangkan dalam novel Edensor. Mendengar kata backpacker sering membuat saya berharap jadi laki-laki saja. Laki-laki itu bebas bepergian ke mana pun sesuka hatinya tanpa harus terbebani aturan safar. Mereka bebas mendaki gunung atau melintasi benua sendirian. Lain halnya dengan perempuan.

Aturan bepergian dengan mahram selalu menjadi hal yang sulit bagi saya dan sepupu saya kompromikan. Orangtua kami bukan tipe orang yang selalu siap mengantar pulang pergi anaknya ke tempat yang jauh. Mereka punya definisi sendiri dalam mengartikan kata “jauh”. Mereka kadang bisa sangat keras. Bagi mereka, mengizinkan kami ikut kajian dan berpakaian lebar sudah merupakan kebijaksanaan yang lebih dari cukup. Adapun aturan-aturan yang berlaku di dalamnya adalah urusan kami sendiri. Mereka tidak ingin ikut terlibat. Sebenarnya ayah saya sedikit memahami hal itu, tetapi beliau yang sekarang bukan lagi beliau yang kuat menempuh jarak ratusan kilo seperti yang belasan tahun lalu sering dia lakukan. Duduk berjam-jam dalam bus apalagi kalau hanya naik motor sering membuatnya kelelahan. Saya pernah beberapa kali memintanya mengantar dan rasa sakit di lututnya semakin sering muncul. Setelah itu saya tidak pernah lagi minta diantar. Saya tidak tega melihatnya kesusahan, belum lagi jumlah uban di kepalanya yang terus bertambah beberapa helai setiap kali saya pulang.

Keadaan itu membuat saya dan sepupu saya terbiasa bepergian sendiri. Walau dengan begitu, mau tidak mau kami dihadapkan kembali pada aturan safar. Saya menulis ini bukan untuk pembenaran. Saya tahu, aturan tetaplah aturan dan dalam hal safar tidak ada kelonggaran bagi perempuan. Bagimanapun keadaannya, mereka harus ditemani mahram saat bepergian. Beberapa orang memberi solusi dengan cara lain. Tapi kami lebih banyak tertawa sebagai jawabannya.

Sebelum mengakhiri pembicaraan, saya teringat solusi tadi dan melemparnya sebagai gurauan,
“Kalau begitu kudoakan dikaruniai mahram secepatnya,  biar ada yang bisa mengantar ke mana-mana”
Sepupu saya tertawa menggeleng,
“Itu tak selalu menjadi solusi, kawan.”
Sepakat.
 
;