Sepupu saya mengabarkan dalam waktu dekat ini dia akan
mengikuti sebuah tur ke beberapa negara. Saya orang pertama yang
diberitahu. Sementara yang lainnya belum, tunggu waktu yang tepat,
katanya. Bepergian mengunjungi banyak tempat dan bertemu orang-orang
baru adalah salah satu obsesi kami. Kami adalah penggila novel-novel
Andrea Hirata, terlebih cerita perjalanan keliling dunianya menjadi
backpacker yang dituangkan dalam novel Edensor. Mendengar kata
backpacker sering membuat saya berharap jadi laki-laki saja. Laki-laki
itu bebas bepergian ke mana pun sesuka hatinya tanpa harus terbebani
aturan safar. Mereka bebas mendaki gunung atau melintasi benua
sendirian. Lain halnya dengan perempuan.
Aturan bepergian dengan mahram selalu menjadi hal yang sulit bagi
saya dan sepupu saya kompromikan. Orangtua kami bukan tipe orang yang
selalu siap mengantar pulang pergi anaknya ke tempat yang jauh. Mereka
punya definisi sendiri dalam mengartikan kata “jauh”. Mereka kadang bisa
sangat keras. Bagi mereka, mengizinkan kami ikut kajian dan berpakaian
lebar sudah merupakan kebijaksanaan yang lebih dari cukup. Adapun
aturan-aturan yang berlaku di dalamnya adalah urusan kami sendiri.
Mereka tidak ingin ikut terlibat. Sebenarnya ayah saya sedikit memahami
hal itu, tetapi beliau yang sekarang bukan lagi beliau yang kuat
menempuh jarak ratusan kilo seperti yang belasan tahun lalu sering dia
lakukan. Duduk berjam-jam dalam bus apalagi kalau hanya naik motor
sering membuatnya kelelahan. Saya pernah beberapa kali memintanya
mengantar dan rasa sakit di lututnya semakin sering muncul. Setelah itu
saya tidak pernah lagi minta diantar. Saya tidak tega melihatnya
kesusahan, belum lagi jumlah uban di kepalanya yang terus bertambah
beberapa helai setiap kali saya pulang.
Keadaan itu membuat saya dan sepupu saya terbiasa bepergian sendiri.
Walau dengan begitu, mau tidak mau kami dihadapkan kembali pada aturan
safar. Saya menulis ini bukan untuk pembenaran. Saya tahu, aturan
tetaplah aturan dan dalam hal safar tidak ada kelonggaran bagi
perempuan. Bagimanapun keadaannya, mereka harus ditemani mahram saat
bepergian. Beberapa orang memberi solusi dengan cara lain. Tapi kami
lebih banyak tertawa sebagai jawabannya.
Sebelum mengakhiri pembicaraan, saya teringat solusi tadi dan melemparnya sebagai gurauan,
“Kalau begitu kudoakan dikaruniai mahram secepatnya, biar ada yang bisa mengantar ke mana-mana”
Sepupu saya tertawa menggeleng,
“Itu tak selalu menjadi solusi, kawan.”
Sepakat.