27 June 2014

Ramadhan, Nasi Goreng dan Kepala Suku

Ingatan akan orang yang pernah membersamai kita seringkali tertelan oleh kesibukan sehari-hari. Ingatan itu baru muncul ketika ada momen yang memancingnya. Seperti hari ini. Saya baru tiba di kos. Baru mau masuk kamar ketika teman kos mencegat di depan pintu dan tanya dimana nantinya saya buka puasa pertama ? Dia mengajak penghuni yang tidak pulang kampung untuk  buka bersama di kos. Biar rame, katanya. Saya menggeleng tidak tahu. Memang belum ada rencana dimana akan buka puasa. Mungkin bareng sepupu, mungkin dengan teman kampus, mungkin dengan teman kos atau mungkin buka puasa sendiri di jalan. Tergantung situasi nanti. 

Ramadhan tinggal hitungan jam. Dan saya teringat lagi dengan para penghuni kos yang sebelumnya saya tinggali. Pondok Istiqomah namanya. Satu demi satu mereka menyebar ke berbagai daerah. Pondok itu menyimpan ingatan tersendiri di laci kepala saya. Yang paling teringat adalah Misi Penghematan Ekstrim yang dijalankan berdua oleh saya dan “kepala suku”. Saat itu masa-masa ‘paceklik’. Agar tetap survive sampai bulan berikutnya, nyaris dua minggu kami hanya makan nasi dan sambal botol. Kami patungan membeli sebotol bumbu nasi goreng untuk persediaan beberapa hari. Di rumah, nasi yang sudah matang kemudian diolah menjadi nasi goreng dengan bumbu botol tadi. Lalu dimakan tanpa lauk, hanya tambahan rasa pedas dari sambal botol. Selama berhari-hari, siang dan malam kami makan itu terus. Kadang malah sebungkus mie instan dimakan berdua. Hasilnya luar biasa, saya bisa menghemat sampai lima puluh persen. Tapi gara-gara itu juga, selama beberapa waktu saya tidak menyentuh nasi goreng. Eneg rasanya. Terharu juga kalau diingat lagi. Tapi disitulah momen yang kurasa paling berkesan. 

Walaupun terpisah, tapi pernah bertemu di aliran sungai yang sama. Bukankah itu sudah cukup ? Kata-kata yang diambil dari buku ini selalu menjadi penghibur bagi saya setiap kali ada yang pergi. Ketika kos semakin sepi karena hanya tersisa empat orang, dia selalu menjadi imam shalat. Karena itu dia dipanggil kepala suku. Kamarnya juga sering jadi tempat nongkrong, tempat sahur dan berbuka, dan tempat mengungsi jika pertengahan hari kamar saya berubah jadi oven dadakan karena terpanggang matahari. Terakhir saya dapat kabar kalau dia bekerja di Bogor, dekat kampus IPB. 

Dia berani keluar dari zona nyaman. Berjuang, jatuh, lalu berjuang lagi. Mendatangi tempat-tempat asing, bekerja keras, hidup sendirian, jauh dari kerabat dan orang-orang dekat. Saya tidak tahu apa bisa bertahan bila berada di posisinya. Ustadz Abu ‘Umar Basyir menulis dalam dalam bukunya, Sandiwara Langit, bahwa orang yang bekerja keras memang belum tentu mendapat rezeki berlimpah. Tapi Allah menyukai orang-orang yang bekerja dan berusaha lebih keras dibanding yang lain. 

Untuk kepala suku Istiqomers, berusahalah yang terbaik. Jangan lupa untuk sesekali memberi kabar dari sana. Semoga Allah selalu melindungi dan menguatkanmu di mana pun berada. Salam Ultraman :P
25 June 2014

Gara-gara Sinetron

Salah satu novel Asma Nadia diangkat ke layar kaca dan menjadi tontonan yang saat ini digemari banyak orang. Saya belum baca novelnya, juga tidak mengikuti serialnya. Tapi waktu nginap di rumah sepupu, saya ikut menemaninya nonton. Berhubung tidak paham jalan cerita dan berhubung sepupu sudah baca novelnya jauh sebelum difilmkan, maka dia pun menjadi narasumber. Dialog pemain di TV bersaing dengan tanya jawab antara saya dan sepupu. Mana pemeran utamanya ? Itu siapa ? Masalah keluarganya apa ? Kalau itu siapa ? Cerita di TV sejalan dengan novel tidak ? Akhirnya bagaimana ? Lama-lama sepupu terganggu juga dengan rentetan pertanyaan itu. Jadi saya tutup mulut dan ngikut saja cerita di TV. Ketika scene menampilkan si suami yang berusaha menutupi hubungannya dengan seorang bawahan di kantor dari istrinya, saya melirik sepupu. Menunggu komentar. Biasanya kalau melihat hal-hal semacam itu akan ada komentar sinis yang ikut. 

“Laki-laki memang tidak ada yang baik”

Tuh, kan. Apa saya bilang ? Dia selalu sinis kalau bicara tentang pernikahan dan problematikanya. Karena itu saya menjulukinya Ratu Sinis Pernikahan. Mungkin karena dia sering ketemu masalah serupa di dunia nyata. Mulai dari rekan-rekannya, sahabatnya sampai mutarabbinya. Kupikir, boleh jadi karena itu pula dia masih sendiri. Maksudku, menikah memang persoalan takdir. Tapi pemikirannya itu punya andil besar kenapa sampai sekarang dia betah seperti itu. 

“Bodoh sekali orang yang menikah dan mencari bahagianya saja”

“Orang menikah memang bukan cari sengsara, kak”, celutuk saya 

Ups,dia mendelik. Menatap saya seperti melihat seorang amatiran.

“Dengar nah, menikah itu tidak semata-mata blablabla. Menikah tanpa persiapan itu sama saja dengan blablablabla. Masalah akan bermunculan blablabla. Lalu blablabla…dan blablabla hingga blablabla dan akhirnya blablabla…” 

Alamak, saya cuma ngomong satu kalimat, dia balas satu paragraf.

“Kau belum lihat apa yang kulihat. Jadi tidak akan paham” 

Angkat tangan deh. Saya tidak mau bicara lebih jauh tentang hal yang tak pernah saya alami. Kita tidak akan memahami sesuatu hingga mengalaminya sendiri. Kurasa sepupuku pun sama saja. Melihat atau menyaksikan itu satu hal, mengalami sendiri adalah hal yang lain. Kita sering melihat kematian, tapi kita tak pernah tahu seperti apa rasanya sampai kematian itu datang. Yang kita alami hanyalah dekat dengan kematian entah karena sakit, kecelakaan, jatuh atau lainnya. Begitu pun pernikahan, kita hanya menyaksikan dari luar. Menjadi penonton atau pengamat dan belajar dari pengalaman orang lain. Tapi kita tidak akan paham hingga menjalaninya sendiri. Karenanya tak perlu menghabiskan waktu terus menerus membicarakan pernikahan, mengira-ngira kehidupan di dalamnya, lalu menulisnya berulang-ulang sementara kita sendiri belum mengalaminya.

Berdiskusi karena ingin belajar atau mencari solusi memang perlu, tapi yang banyak terjadi hanya pembicaraan tak terarah dan tak punya ujung pangkal. Kenapa ? Karena mereka belum punya pengalaman menjalani kehidupan semacam itu. Jadi yang muncul hanya dugaan. Kalau pun sudah menjalaninya lalu mengalami masalah, cara mencari solusi bukan dengan curhat panjang lebar di blog, update status di facebook atau berkicau di twitter. Tapi cari orang yang dipercaya bisa memberi solusi baik itu orangtua, murabbi, atau sahabat sendiri lalu diskusikan langsung dengannya. 

Murabbi saya sering menekankan hal ini pada kami. Masalah rumah tangga adalah masalah yang sangat pribadi. Membicarakannya harus hati-hati. Banyak hal yang tak seharusnya diketahui orang lain. Banyak hal yang tidak seharusnya keluar dari pintu rumah. Cukup orang dalam saja yang tahu dan selesaikan sendiri. Bukankan itu salah satu risiko pernikahan ? Menahan diri dari banyak hal demi menjaga kehormatan keluarga.

Sejak menikah, murabbi saya pantang meminta apapun dari orangtuanya. Bagaimana pun sulitnya keadaan, ia menutup rapat mulutnya dari mengeluh dan menahan tangannya dari meminta meski orangtuanya bisa dengan mudah memberi bantuan. Hal itu dilakukan demi menjaga harga diri suaminya. Berbusa-busa curhat di blog, facebook atau twitter dengan niat mencari solusi hanya akan menambah rumitnya masalah. Tujuan awalnya memang baik, tapi cara menyelesaikannya justru dengan menambah masalah baru. 

Seperti halnya sepupu, saya juga sering sinis memandang pernikahan karena yang lebih banyak muncul di kepala adalah seabrek masalahnya. Yang sering saya saksikan adalah orang-orang yang memilih berpisah. Yang sering saya lihat adalah mereka yang marah dan kecewa. Tapi itu bukan berarti bahwa semua laki-laki tidak ada yang baik. Maksudku, baik dan buruk. Hitam dan putih. Orang-orang hanya condong ke salah satunya. Tidak sepenuhnya di kiri atau di kanan. Bila menyangkut keikhlasan, dikatakan bahwa wanita itu lebih besar keikhlasannya dari kaum laki-laki. Di salah satu edisi majalah Qiblati, Syaikh Mamduh Farhan al Buhairi berkata bahwa kita tidak pernah menemukan dalam hati wanita kecuali satu kamar yang hanya dimasuki satu orang laki-laki. Sementara hati laki-laki seperti hotel yang dipenuhi oleh berbagai kamar. Mungkin ini yang membuat sepupu berpendapat seperti tadi. Dan ini pula yang menjadi inti masalah sang istri dalam novel Asma Nadia. Juga alasan mengapa beberapa orang di sekitar saya memutuskan berpisah. 

Oke deh, tulisan ini sudah lebay stadium empat. Beginilah efek dari menonton sinetron. Akhirulkalam, mohon maaf bila ada kata yang tidak berkenan di hati.
03 May 2014

Hakikat Kebebasan

 
Orang-orang berubah. Yang dulunya rapi kini berantakan. Yang dulunya berantakan kini rapi. Yang dulunya rajin ikut kajian, sekarang berhenti total. Yang dulunya siswa nakal, bergaul terlalu bebas, setelah kuliah dan ikut kajian islam, berubah total. Bagi yang perempuan, jilbab semakin lebar dan memakai kaos kaki. Yang laki-laki, celana dipotong pendek, memelihara janggut dan menjaga shalat jama’ah di masjid. 

Kuliah di kota besar bisa berdampak baik dan buruk. Apapun dampaknya, kehidupan kota memberi banyak pelajaran pada diri seseorang. Pelajaran yang hanya didapatkan bila bertemu langsung dengan kehidupan dan orang-orang kota. Mereka yang kuliah ke kota bukan sekadar ingin melanjutkan pendidikan. Di sisi lain mereka sedang mencari kebebasan. Menjauh dari orangtua dan kerabat, berusaha memberi ruang yang lebih leluasa untuk diri sendiri dan membangun hubungan baru.

Di kota besar, kebebasan bertebaran seperti botol plastik dan sampah di pinggir jalan. Orang berbondong-bondong ke sana untuk mencari kebebasan diiringi pandangan khawatir orangtua di kampung halaman. Mereka yang tidak memiliki kesadaran diri akan menyia-nyiakan kebebasannya. Tapi kebebasan itu samar. Tak jelas. Seseorang baru menyadarinya setelah terikat berbagai kebebasan yang membuatnya tak mampu lagi bergerak. Ia berharap bisa terbang ke langit luas, tapi saat harapan itu terpenuhi, ia tak tahu lagi apakah itu kebahagiaan atau kesenangan belaka. 

Pada akhirnya, kebebasan terbatas yang dimiliki saat masih berada di dalam sangkar, menjadi kebebasan paling berarti. Tempat yang tampaknya diliputi kebebasan, sebenarnya tidak memiliki kebebasan sama sekali. Yang ada hanyalah ilusi kebebasan. Orang mencari kebebasan yang berada jauh dari kampung halamannya. Mereka menganggap bahwa kebebasan yang ada di kota sangat mengagumkan. Namun, siapapun pada akhirnya mengikuti jalan yang sama, dan kembali ke tempat yang sama. Mereka memulai perjalanan untuk mencari kebebasan, lalu kembali pulang setelah kebebasan itu justru mengekang.

Perbedaan kesadaran diri membuat orang yang kembali dari perantauan di kota, menjadi begitu berbeda dengan saat pertama kali pergi. Bila tak memiliki kesadaran diri, kebebasan kota semacam Makassar bisa menghanyutkan seseorang. Begitu pula sebaliknya, kesadaran diri dapat membentengi seseorang meski kebebasan bertebaran seperti daun-daun kering. Senior yang satu tingkat di atas saya, yang oleh guru disebut sebagai siswa paling cerdas di angkatannya, memutuskan kuliah di Australia. Semua orang mengira bahwa saat kembali, dia sudah menyatu dengan kehidupan barat mulai dari pakaian hingga tingkah laku. Tapi orang-orang terkejut melihat penampilannya saat kembali. Berbeda dari perkiraan sebelumnya, dia justru pulang dengan hijab yang menutup seluruh tubuh dan wajahnya. Tak ada yang mengira bahwa di samping kuliah, dia juga rutin belajar Islam. 

Dalam sebuah reuni, seorang teman bercerita dengan bangga bahwa saat kuliah dia telah melakukan berbagai hal buruk. Dengan pengalamannya itu dia jadi tahu bahwa hal itu memang buruk. Menurutnya, walaupun secara teori kau tahu itu buruk, walaupun sudah ada label bahwa itu buruk, tapi kau tidak akan benar-benar tahu keburukan itu sebelum melakukannya. Saya tersenyum sinis mendengarnya. Bisa dianalogikan dengan peringatan “Awas! Listrik bertegangan Tinggi” yang terpasang di kawat pagar. Lalu seseorang datang. Dia sudah tahu itu berbahaya. Sudah ada peringatan yang jelas-jelas terpasang di sana. Tapi dia ingin memegang kawat itu sekadar tahu bagaimana rasanya kesetrum listrik. Kupikir, orang semacam ini sudah mati konyol sebelum sempat sadar kalau perbuatannya benar-benar bodoh. 

Islam sudah melabeli setiap perbuatan dengan label baik dan buruk. Sudah ada batas tegas antara keduanya. Kita hidup dengan menabung kedua hal itu, kebaikan dan keburukan. Hidup kita tak memiliki waktu tambahan. Pelan tapi pasti ia mendekati garis eliminasi. Dan setiap perbuatan manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Setiap koin dalam tabungan itu akan diminta pertanggungjawaban. Tak ada yang lebih menyedihkan daripada orang yang sudah tahu mana yang buruk, tapi terus mengisi tabungannya dengan keburukan. Kata Lily Franky dalam Tokyo Tower, lakukanlah apapun yang ingin kau lakukan, tapi segalanya akan sulit sejak saat itu. Kalau kau tidak punya malu, kata agama kita, berbuatlah sesukamu. Berbuatlah sesukamu, tapi kau pasti akan mati. Pilihan memang di tangan kita, mau bertindak bodoh atau bermain aman ?

Berlibur Ke Liang Tarrusu

Selayar panas seperti biasa. Sudah hampir dua pekan saya berada di sini. Seorang teman kampus yang baru pertama kali menginjak Selayar dalam rangka penelitian pernah memperlihatkan tiga kipas yang patah. Ternyata kipas itu patah karena keseringan dipakai. Cuaca di sini benar-benar panas, katanya. Teman sekampung lain lagi komentarnya. Katanya, perawatan kulit setahun di Makassar bisa hancur dalam sehari di Selayar :D. Kalau ingin menggelapkan kulit, katanya lagi, tidak perlu bayar mahal ke salon. Cukup berjemur seminggu penuh sudah bisa menyaingi Farah Quinn. 

Ada pula teman yang pernah ditugaskan mewawancarai salah seorang penambang yang sudah bertahun-tahun bekerja di Selayar. Setelah bicara beberapa menit, si penambang yang diwawancarai terlihat tidak paham bahasa teman saya. Padahal dia sudah menggunakan bahasa Indonesia yang baku. Berdasarkan data pribadi, si penambang berasal dari Jakarta. Mandor yang melihat ketidaknyambungan itu mendekat dan berbicara menggunakan bahasa Mandarin kepada si penambang. Teman saya akirnya paham kalau si penambang adalah warga China. Mungkin karena kelamaan di Selayar, kulitnya jadi gelap, jadi tidak bisa lagi dibedakan dengan penduduk asli. 

Di cuaca yang panas, tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding laut, pasir putih dan es kelapa muda. Malam kamis kemarin, saya dapat ajakan berlibur dari senior. Oleh keponakannya, dia sering dipanggil Mie Titi. Di hari libur yang  bertepatan dengan Hari Buruh, Mie Titi dan beberapa teman seangkatannya berencana pergi berenang ke Liang Tarrusu. Liang Tarrusu terletak beberapa kilo dari Liang Kareta. Nama-nama yang disematkan oleh penduduk untuk pantai itu terkesan asal-asalan. Disebut Liang Kareta karena katanya mirip kereta. Yang saya lihat hanya ceruk besar sepert gua, tak mirip kereta sama sekali. Liang Tarrusu artinya liang terusan. Saya juga tidak mengerti itu terusan apa atau terusan kemana. Karena semua liang di sana terlihat sama saja. Tapi tak perlulah mempersoalkan nama, sebab yang terpenting adalah pasir putih dan lautnya yang hijau torquise. Mau dikasih nama apapun, tempatnya tetap sama. 
Kami berangkat bertiga belas mengendarai motor. Saya membonceng sama Mie Titi. Kami menuju desa Padang, lalu menyewa perahu motor ke Liang Tarrusu. Sebenarnya bisa langsung dari kota Benteng menuju Liang Tarrusu, tapi perjalanan lewat laut jadi lebih lama. Liang Tarrusu tidak bisa disebut bersih. Pasir putih dan lautnya memang bersih. Tapi di sekitar liang tidak. Sampah pembungkus makanan, botol plastik dan puluhan sandal bertumpuk di sana. Kami tiba pukul 11 lewat. Karena shalat dhuhur kurang dari satu jam lagi, jadi saya menunggu waktu shalat dulu baru berenang. 

Beberapa di antara senior itu adalah pengurus OSIS yang mengospek saya sewaktu SMA. Seingatku mereka dulu kerjanya hanya ngumpul-ngumpul di pinggir pantai, minum sara’ba’ dan makan gorengan sambil main gitar. Tapi biar begitu mereka tetap berprestasi di kelas. Anak-anak IPA kesayangan guru. Bila para guru berkumpul, mereka sering bertukar cerita tentang kondisi siswa. Ada jenis siswa yang malas ke sekolah, sering bolos, tapi nilai ujiannya selalu paling tinggi. Mereka bolos bukan karena malas belajar, tapi mereka sudah paham apa yang akan disampaikan oleh guru. Guru sendiri kadang mengakui bahwa beberapa siswa sebenarnya lebih cerdas dibanding dirinya. Tapi guru tetaplah guru. Dan murid tetaplah murid. 

Saya sulit memulai percakapan dengan orang asing. Tapi bersama para senior itu, tak ada basa-basi kaku atau perkenalan membosankan. Semua berjalan natural. Dan saya suka awal pertemanan yang seperti itu. Mereka lucu tanpa bermaksud melucu. Mereka saling meledek satu sama lain. Ledekan-ledekan itu yang membuat saya tertawa lepas. Konyol pokoknya. Tapi hanya yang paham bahasa Selayar yang bisa menangkap humor percakapan mereka. Melihat tingkah teman-temannya, salah seorang dari senior itu menoleh ke saya, 

“Bagaimana ? Kami gila, kan ?” 

Di hari libur berikutnya, mereka berencana berlibur ke pulau Tinabo. Hanya saja, biaya yang dibutuhkan lebih mahal. Untuk menyewa speedboat bisa menghabiskan dua juta, belum lagi biaya penginapan, sewa alat snorkeling dan sewa guide. Bila rencana itu jadi, saya tidak yakin apa bisa ikut atau tidak. Sebab, tujuan utama saya di sini bukan untuk liburan.
15 April 2014

Bukan Tentang Sakinah, Mawaddah dan Warahmah

 

Jodoh itu -seperti kata orang-, memang ada di Tangan Tuhan. Tapi kalau tidak diambil-ambil, ya di Tangan Tuhan terus. 
~Sebuah kelakar dalam buku Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan~ 

Hari masih pagi ketika saya hujan-hujanan menuju fakultas teknik. Tujuan saya ke sana untuk mengambil titipan undangan. Di bulan ini, setidaknya ada tiga nama serupa yang akan menyempurnakan separuh diennya. Dua nama sudah selesai beberapa hari lalu. Berikutnya insya Allah akan menyusul yang ketiga. 

Saya lupa kapan pertama kali mengenalnya. Walaupun kadang melihatnya di beberapa kesempatan, tapi pertemuan saya dengannya menjadi lebih intens ketika kami ditempatkan satu departemen dalam sebuah kepengurusan. Departemen yang khusus mengelola buletin dan mading. Kami pun rutin bertemu dalam musyawarah dan gantian menulis buletin. Setahun kemudian dia diterima bekerja di sebuah perusahaan di Bekasi. Sejak saat itu, komunikasi dilakukan hanya sesekali lewat sms atau telepon. Itu pun karena dia yang lebih sering menelpon. Kadang kepikiran juga kenapa saya bisa seapatis itu. Maksudnya kenapa saya tidak memulai duluan, mengirim sms atau menelponnya. Ketika jarak berjauhan, maka yang dapat diandalkan untuk menyambung komunikasi hanya hp dan dunia maya. Susahnya, saya tidak doyan atau bisa disebut terlalu malas menanyakan kabar dengan ngobrol panjang lebar lewat telepon. Untunglah dia punya blog, jadi tanpa perlu menanyakan kabar, saya bisa tahu sedikit lewat tulisannya. 

Sewaktu dapat kabar gembira itu lewat sms, saya berniat menuliskan sesuatu. Mungkin semacam nasihat pernikahan blablabla. Tapi kupikir lagi, nasihat semacam itu haruslah datang dari orang yang sudah melewatinya. Bukan orang awam lagi tak berpengalaman kayak saya. Lagipula saya yakin dia mungkin sudah kenyang diberi nasihat sana-sini tentang pernikahan. Ingin menulis tentang jodoh juga sudah ditulis duluan sama yang lain. Tiba-tiba saya teringat ceramah ustadz Armen Halim Naro tentang Wasiat Untuk Wanita. 

Kata orang, kehidupan rumah tangga jauh berbeda dibanding kehidupan ketika masih sendiri. Saya belum tahu seberapa jauh perbandingannya. Tapi cukuplah ucapan seseorang bahwa hidup bersama orang lain lebih sulit dari yang kau kira, menjadi sedikit gambaran tentang perbedaan itu.

Dalam ceramahnya, ustadz Armen Halim Naro menyebutkan bahwa setiap orang bisa berhasil dalam hal pekerjaan, bisnis atau karir di luar rumah, tapi belum tentu ia berhasil dalam rumah tangga. Perlu diketahui bahwa setengah kebahagiaan ada di dalam rumah. Ketika seseorang tak bisa merasakan kebahagiaan di rumah, berarti ia telah kehilangan separuh kebahagiaannya. Olehnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam mengingatkan kepada semua wanita agar bisa memberikan pelayanan lebih di dalam rumah, sebab rumah dapat menjadi surga ataupun neraka bagi seseorang. 

“Kepada seorang istri”, kata Rasulullah, “Lihatlah di mana kedudukan engkau di mata suamimu. Sesungguhnya suamimu itu adalah surgamu atau nerakamu.” Ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam tersebut seakan-akan meminta kepada semua istri agar bisa menciptakan surga bagi suami atau rumah tangganya. Tetapi sebelum istri dituntut, seorang suami lebih berhak dituntut oleh syariat untuk bisa menciptakan surga dalam rumah tangganya. Sebab ia adalah qawwamah, pemimpin. 

Banyaknya permasalahan rumah tangga yang dikeluhkan kepada murabbi atau para da’i kebanyakan disebabkan oleh jauhnya masyarakat dari ajaran islam tentang bagaimana rumah tangga yang bahagia. Atau yang orang-orang sebut dengan dengan sakinah, mawaddah dan warahmah. 

Para lelaki telah diwasiatkan oleh Rasulullah untuk berbuat baik kepada wanita dengan terlebih dahulu mengingatkan mereka bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menggambarkan bahwa tulang rusuk tersebut bengkok, dan yang paling bengkok adalah atasnya. Sebagaimana yang paling bengkok dari wanita adalah kepalanya. Uniknya, yang bengkok ini dapat menghilangkan akal sehat laki-laki yang pada dasarnya tegas. Rasulullah pernah bersabda sambil menunjuk satu per satu para shahabiyah serta istri-istrinya, Saya tidak melihat orang yang kurang akalnya dan kurang diennya yang dapat menghilangkan akal orang yang tegas (laki-laki) di antara kami sebagaimana kalian. 

Contoh kebengkokan wanita dapat dilihat dari kisah yang terjadi pada pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Saat itu seorang Arab Badui dimarahi oleh istrinya di depan anak-anak mereka. Lelaki badui itu pun berniat mengadukan sang istri pada Amirul Mukminin, Umar bin Khattab. Sesampainya di depan rumah Umar, Arab Badui itu menyaksikan bahwa apa yang terjadi di rumahnya, terjadi pula di rumah Umar, bahkan lebih hebat lagi. Uniknya dia tidak mendengar sedikit pun suara bantahan dari Umar. Yang terdengar hanya gerutu sang istri. Khalifah tersebut dimarah-marahi, bahkan dicaci maki oleh istrinya dan beliau diam saja. 

Ketika pintu dibuka, Umar menemukan seseorang sedang berdiri di depan rumahnya. Lalu ditanyakan maksud kedatangan orang tersebut. Lelaki badui itu pun mengaku hendak mengeluhkan apa yang terjadi di rumahnya. Namun ketika melihat apa yang terjadi di rumahnya juga terjadi di rumah Umar, dia pun berniat membatalkan keluhannya. Mendengar itu Umar tersenyum dan berkata, “Wahai saudara islam, begitulah wanita. Akan tetapi saya berpikir bahwa wanita yang mencela saya tadi, bukankah dia yang memasakkan untuk saya, mencucikan untuk saya, memandikan anak-anak saya dan membesarkannya ? Maka saya berharap Allah memberikan ganjaran yang lebih besar dari kesabaran saya kepadanya.” Inilah sosok Umar, hati yang lembut di jiwa yang keras. Oleh karenanya, setiap suami dan istri harus bisa memahami kekurangan masing-masing sehingga mereka dapat ridha dengan keadaan tersebut. 

Dalam kisah lain disebutkan bahwa suatu hari ‘Aisyah bertengkar dengan Rasulullah. Lalu datanglah Abu Bakar. Ketika Abu Bakar melihat wajah anaknya -‘Aisyah- memerah sambil berteriak kepada Rasulullah, hendak dipukulnya anaknya itu. Tapi Rasulullah menghalanginya. Sepulang Abu Bakar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam berkata, Wahai Aisyah, lihatlah bagaimana pembelaanku terhadapmu. Beberapa hari setelah itu mereka kembali bercengkrama seperti biasa, tertawa bersama. Abu Bakar yang melihat keadaan itu pun cemburu dan berkata, Ya Rasulullah tolong ikutsertakan saya di dalam perdamaian kalian sebagaimana saya telah ikut serta dalam peperangan kalian. 

Bercermin pada kisah-kisah tersebut, maka rumah tangga yang bahagia, kata para ulama, bukanlah rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah, bukan rumah tangga yang lepas dari masalah. Akan tetapi rumah tangga yang bahagia adalah rumah tangga yang bisa menyelesaikan permasalahan sesuai dengan anjuran syariat. Rumah tangga yang bahagia adalah rumah tangga yang suaminya bisa menyelesaikan problema rumah tangganya sesuai dengan tuntunan syariat Allah. Sebab rumah tangga Rasulullah yang merupakan rumah tangga paling bahagia pun tidak lepas dari masalah. Akan tetapi mereka bisa keluar dari setiap permasalahan dengan berpedoman pada kitab Allah dan sunnah Rasulullah. 

Teruntuk Kak Rahma yang sudah ‘mengambil’ jodohnya,  

Baarakallaahu laka, wa baaraka 'alaika, wa jama'a baynakumaa fii khair 
“Semoga Allah memberikan berkah kepadamu, semoga Allah mencurahkan keberkahan kepadamu. Dan semoga Allah mempersatukan kalian berdua dalam kebaikan” 


Nb : Mungkin saya tidak bisa memberikan kado virtual seperti mbak Haps, tapi insya Allah akan ada kado visual (halah). Rencananya besok mau berburu kado. Ada permintaan khusus, kak ? ^_^
12 April 2014

Rangkai Temu


Some people come into our lives and quickly go. Some stay for a while and leave footprints on our hearts. And we are never, ever the same

Orang yang pertama kali kita temui saat terlahir ke muka bumi adalah ibu. Selanjutnya ayah, saudara dan kerabat dekat. Ketika umur bertambah, lingkup pertemuan melebar ke teman sebaya. Lalu semakin melebar hingga tak terhitung jumlahnya. Puluhan temu bisa terjadi dalam sehari. Kadang, dalam perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, temu-temu berserakan di sepanjang jalan. Temu yang bisa bermakna, atau lewat begitu saja.

Pertemuan bisa berbentuk apa saja. Dalam bentuk manusia atau peristiwa, kesulitan atau kemudahan, kesempitan atau kelapangan, kesedihan atau kebahagiaan dan dalam bentuk ilmu atau buku. Berupa-rupa karakter manusia yang ditemui membuat mereka belajar cara memahami. Membuat mereka mengenal banyak rasa dan melihat lebih banyak warna. Berbagai peristiwa yang ditemui membuat manusia belajar memetik hikmah pada setiap kejadian. Terkadang, satu peristiwa dapat mengubah total kehidupan seseorang. Setiap kesulitan dan kesempitan yang ditemui membuat manusia belajar memecahkan masalah. Setiap ujian yang ditemui membuat manusia belajar memaknai kesabaran. Kebahagiaan yang ditemui membuat manusia mengenal kata syukur. Pun ilmu pengetahuan berabad-abad lalu yang sampai ke masa ini tidak dikirim lewat pos atau lorong waktu, tapi diwariskan lewat pertemuan antar generasi. 

Kadang saya mereka-reka sendiri kemungkinan apa yang terjadi andai misalnya, saya tidak bertemu dengan apa yang pernah saya temui. Atau andai saya tidak melakukan apa yang sudah saya lakukan, atau sebaliknya. Akan seperti apa jika saya tidak pernah bertemu orang itu ? Akan seperti apa jika saya tidak pernah menyaksikan peristiwa itu ? Akan seperti apa jika saya tidak pernah mengenal ilmu itu ? Akan seperti apa jika saya tidak mendengar nasihat itu? Akan seperti apa jika saya tidak membaca buku itu ? Akan seperti apa jika yang pertama kali menjabat tangan saya sewaktu maba bukan kakak berwajah teduh itu ? Akan seperti apa jika tempat mencari ketenangan di tengah rutinitas kuliah, bukan di masjid kampus, tapi di tempat lain ? Apa jadinya jika saya tidak bertemu dengan mereka ?

Kita saat ini adalah hasil dari rangkaian pertemuan. Apa yang membentuk pola pikir kita, prinsip kita, cita-cita atau impian kita, apa yang kita inginkan, apa yang kita pertahankan atau yang kita lepaskan, adalah karena pertemuan. Seberapa dalam makna pertemuan tergantung pada seberapa banyak kita memetik hikmah. Waktu bisa jadi bukan variabel utama. Sebab pertemuan satu hari mungkin cukup. Satu jam mungkin juga cukup. Cukup untuk membuatmu merekonstruksi ulang hidupmu. Cukup untuk membuatmu melepaskan atau mempertahankan beberapa hal. Cukup untuk membuatmu tidak lagi sama dengan kemarin. Dan kau tidak akan pernah kembali seperti kemarin. 

Kadang, ingatan akan orang-orang yang pernah saya temui muncul tiba-tiba. Mereka yang masih ada di sekitar saya, mereka yang sudah pergi mendahului atau mereka yang hilang tanpa jejak di antara arus manusia dan putaran waktu. Suatu hari seorang teman masih duduk belajar bersama saya. Esoknya dia absen untuk menghadiri pesta pernikahan kerabat di sebuah pulau kecil. Dua belas jam berikutnya berita buruk datang. Kapal motor yang dia tumpangi bersama kedua orangtuanya meledak dan tenggelam di tengah laut. Hanya beberapa yang selamat. Tidak termasuk dia.

Suatu ketika dalam perjalanan laut saya bertemu seorang gadis. Rambutnya panjang dan dikuncir kuda. Umurnya kurang lebih sama dengan saya. Dia memakai ikat rambut warna putih. Bajunya terlihat longgar di tubuhnya yang kurus. Tapi dia cekatan bekerja. Di antara penumpang kapal, hanya dia yang seusia dengan saya. Ibunya bekerja di dapur, sementara dia bertugas mengantar makanan untuk nahkoda dan awak kapal. Rupa gadis itu sudah kabur dalam ingatan saya. Tapi tertinggal kesan bahwa dia cantik. Bekerja di kapal tidak cocok untuknya. Dia lebih cocok menjadi anak manis yang diantar jemput ke sekolah dan memakai tas punggung warna pink. 

Setelah mengantar teh dan kue ke ruang nahkoda, dia duduk berselonjor di anjungan kapal. Kedua tangannya bertumpu ke belakang. Saya mendekat dan duduk bersila di sampingnya. Gadis itu hanya diam saat menyadari saya di dekatnya. Saya tidak mahir memulai percakapan. Maka selama beberapa menit kami, sama-sama membisu. Lalu entah karena apa, dia memulai percakapan dengan bercerita. Mungkin itu caranya berkenalan. Atau mungkin tidak masalah baginya bercerita pada orang asing yang hanya ditemui sekali. Cerita dibuka dengan perpisahan orangtuanya. Ayahnya pergi. Dia berhenti sekolah dan tinggal berdua dengan ibunya. Mereka hidup dengan berganti pekerjaan. Terakhir mereka bekerja di kapal sehingga tempat tinggal pun tidak menetap.

Saat itu matahari sore berada tepat di atas garis laut. Sinarnya yang keemasan menyapu rambut gadis itu. Beberapa helai rambut di bagian depan dipotong pendek hingga jatuh menutupi sebagian wajahnya. Hembusan angin laut membuat rambutnya berantakan. Dia menatap lurus ke arah matahari. Dahinya berkerut dan matanya menyipit karena silau. Sesekali dia menoleh dan tersenyum. Saat matahari ditelan laut, dia beranjak menuju dapur, membantu ibunya menyiapkan makan malam. Pukul sepuluh lewat, kapal merapat di dermaga kota. Saat turun dari kapal, saya sadar belum menanyakan namanya. Beberapa waktu kemudian kapal yang sama merapat di dermaga. Saya mencari gadis itu. Tapi dia sudah pindah ke kapal lain. Pertemuan dengannya hanya beberapa jam. Namanya pun saya tidak tahu. Tapi hingga kini ingatan tentangnya masih melekat. Seorang gadis manis dengan rambut berantakan ditiup angin.

Lain waktu, ingatan menuntun saya pada seorang yang lain. Saat itu rumah nenek masih jadi rental PS. Suatu hari dia datang menawarkan diri jadi asisten jaga dengan imbalan gratis main game dua jam. Tawarannya saya terima. Orangnya jujur, hobi ketawa, tapi pembangkang dan keras kepala. Tak banyak sisi kehidupannya yang saya tahu. Sebatas bahwa dia satu tingkat di atas saya, tinggal bersama tante, kedua orangtuanya bercerai, ayahnya menikah lagi dan pindah ke propinsi lain. Ibunya pergi dan menitipkannya pada pada saudara ayahnya. Sepulang sekolah dia bekerja menarik becak sampai maghrib. Malam hari dia menggantikan saya jaga. Suatu ketika dia menyatakan keinginannya pergi ke tempat yang jauh. Mungkin untuk mencari ayah atau ibunya, pikir saya. Tapi sepertinya bukan, karena dia mengatakan tempat yang jauh. Bila main game, kadang tatapannya lurus menatap layar TV tapi seperti tidak menatap apa-apa. Kosong. Kadang pula tatapan itu berisi sesuatu yang lain. Semacam amarah, kecewa, putus asa atau entah apa. 

Hidupnya terlalu berat untuk anak kelas dua SMP. Bukan karena kekurangan materi, tapi kenyataan bahwa orangtuanya pun tak menginginkan dirinya. Manusia menyukai penerimaan dan benci penolakan. Mereka bertahan karena orang lain menginginkan keberadaannya. Ketika hal itu hilang, apa yang membuatmu tetap bertahan ? Suatu ketika, ia tidak pernah lagi muncul. Beberapa hari kemudian saya tahu, dia memutuskan pergi sesuai keinginannya. Membawa beberapa lembar pakaian, buku-buku pelajaran, lalu menumpang bus, menyeberang laut, dan entah kemana. Terkadang saya memikirkannya. Di belahan bumi mana dia saat ini ? Apa dia masih hidup? Apa dia baik-baik saja ? Apa dia pernah bertemu ibu atau ayahnya ? Setiap kali mengingat tatapan kosong di depan layar TV itu, ada rasa nyeri yang menghimpit. Mungkin semacam rasa bersalah. 

Ada pula ingatan tentang orang yang pernah akrab dengan saya. Wajahnya mirip tokoh utama drama Oshin. Kami sekolah di tempat berbeda. Pertemanan kami mungkin berawal karena sama-sama kesepian. Orangtuanya berpisah, ia tinggal dengan nenek dari pihak ayah. Sehari-hari neneknya berdagang di pasar. Sementara orangtua saya bekerja jauh di luar pulau. Bertemu hanya sekali atau dua kali setahun. Komunikasi lewat surat hanya sekali dalam dua bulan.

Setiap pagi kami membeli donat di tempat yang sama. Sore hari menghabiskan waktu bersepeda di pesisir pantai. Malam hari belajar bersama atau nonton serial Mr. Bean. Rutinitas harian kami tetap seperti itu selama beberapa waktu. Hidup jadi lebih menyenangkan. Hingga suatu ketika dia pergi begitu saja. Tanpa pamit. Tanpa pesan. Tanpa kata-kata perpisahan. Saya kembali ke rutinitas sehari-hari. Bersekolah seperti biasa. Bergaul dengan orang lain seperti biasa. Makan donat setiap pagi, bersepeda tiap sore, mengerjakan PR setiap malam dan nonton Mr. Bean. Tapi di saat yang sama, sesuatu pelan-pelan mendingin di dalam. 

Pertemuan akan selalu terjadi. Begitu juga perpisahan. Rangkai temu yang memberikan banyak hal pada kita. Dan perpisahan yang mengambil beberapa hal dari diri kita. Tapi baik pertemuan atau perpisahan bukan sesuatu yang harus disesali, sebab segala hal tidak terjadi dengan sia-sia. Disadari atau tidak, kita menjadi lebih kuat karenanya.
07 April 2014

Inti Beku

Beberapa malam lalu, saya dan sepupu datang ke rumah sakit. Ada sepupu yang akan melahirkan. Sepupu satu kali saya jumlahnya banyak. Cukup untuk membentuk dua tim sepak bola. Jadi penggunaan kata sepupu dalam satu tulisan dengan sepupu dalam tulisan lain boleh jadi dua orang yang berbeda. Sepupu yang datang bersama saya ada dua orang, sebut saja Heiji dan kak Wana. Mereka bersaudara. Di rumah sakit sudah ada sepupu lain yang menunggu. Karena hanya satu pengunjung yang diperbolehkan masuk, jadi saya masuk terlebih dahulu. Yang lain menunggu di luar. Kak Wana agak takut pada hal-hal yang berhubungan dengan persalinan. Heiji sendiri pernah pingsan di rumah sakit ketika melewati seorang ibu yang menjerit kesakitan menjelang persalinan. Padahal dia datang untuk menjenguk paman yang akan menjalani operasi.

Kalau dipikir aneh juga, sebab pada dasarnya mereka berdua bukan penakut. Pernah terjadi kecelakaan di dekat rumah Heiji. Pengendara yang satu tidak terluka parah, tapi yang satu lagi terkapar tak bergerak di perempatan jalan. Wajahnya tak bisa dikenali karena hancur dan berlumuran darah. Tak ada yang berani mendekat untuk memeriksa tanda kehidupan selain Heiji. Padahal dia perempuan sementara di antara kerumunan itu banyak laki-laki. Tapi lain cerita bila berhubungan dengan ibu hamil. Bagi mereka, melihat perempuan kesakitan menjelang persalinan jauh lebih mengerikan dibanding melihat mayat berlumuran darah di tengah jalan.

Di ruang bersalin, kondisi sepupu saya sangat lemah. Kulitnya pucat, seolah-olah darah baru saja disedot keluar dari tubuhnya. Suami sepupu berdiri di sisi kanan, tangannya terus menggenggam tangan istrinya. Saya mengeluarkan sebotol air zam-zam yang dipesan sewaktu umrah beberapa waktu lalu. Tapi sebelum bersalin tidak boleh ada makanan dan minuman yang masuk. Tak lama kemudian, dokter datang mengabarkan bahwa sepupu saya harus menjalani operasi karena kondisinya tidak memungkinkan bersalin normal. Saya pun diusir keluar ruangan.

Sebelum keluar, saya sempat berbalik dan melihat dokter berbincang serius dengan suami sepupu. Beberapa menit kemudian, dokter dan perawat membawa sepupu ke ruang operasi. Salah seorang dari mereka menyembulkan kepalanya di pintu masuk, meminta suami sepupu menyiapkan beberapa perlengkapan. Suami sepupu yang ikut keluar terlihat seperti tak punya tenaga. Bahunya terkulai. Senyum hilang dari wajahnya. Pembawaannya yang biasa ceria tak tampak lagi. Berganti dengan tatapan kosong. Entah apa yang sudah dikatakan oleh dokter. Tapi sepertinya bukan berita baik. Saat kutanya perlengkapan apa yang harus disiapkan, suami sepupu hanya tercenung. Pikirannya seperti terpisah dari jasadnya. Kuulangi pertanyaanku dan dijawab patah-patah. Rasanya seperti menanyai orang yang baru siuman. Saya melirik kak Wana. Kami memutuskan menyiapkan sendiri walau tak tahu barang apa saja yang dibutuhkan. Saya membongkar tas pakaian, mengeluarkan sarung, selimut, popok, dua pasang pakaian bayi dan sepasang pakaian bersih untuk sepupu lalu menyerahkannya pada dokter. Dokter kembali masuk ke ruang operasi setelah sebelumnya memastikan darah yang dipesan di PMI sudah tiba di rumah sakit.

Penyakit penyertanya berat, kata suami sepupu akhirnya angkat bicara. Dokter menyuruh kita banyak berdoa, lanjutnya. Kami terdiam cukup lama mendengarnya. Cukup lama hingga membuat ruang tunggu menjadi lengang. Saya memain-mainkan ponsel, tak tahu harus berkata apa. Dan kupikir memang tak ada yang perlu diucapkan di saat seperti itu. Yang bisa kami lakukan hanya menunggu. Dan berdoa.

Suami sepupu beranjak dari kursi menuju anak tangga. Letaknya agak tersembunyi di sudut ruangan. Cahaya di sekitar tangga lebih redup dibanding area pintu masuk. Dia duduk di anak tangga ke tiga. Sikunya bertumpu di lutut. Jemari kiri dan kanan ditautkan erat-erat. Kepalanya menunduk seperti orang kelelahan. Beberapa menit kemudian dia mengangkat wajah. Dari jarak beberapa meter, walau agak gelap, saya melihat butir-butir air jatuh dari pelupuk matanya. Tak ada suara. Tak ada isak. Orang yang berlalu lalang di sekitar pintu masuk tidak akan menyadari. Kak Wana yang larut membaca buku di sampingku pun tidak. Perhatian saya alihkan keluar, memandangi barisan motor terparkir di halaman. Bukan pemandangan bagus untuk menenangkan pikiran, tapi sedikit lebih baik dibanding menyaksikan laki-laki dewasa menangis di sudut tangga. Laki-laki menangis bukanlah aib. Juga bukan tanda kelemahan. Itu pertanda bahwa kelenjar air matanya berfungsi dengan baik.

Air mata. Dua kata ini mengingatkan saya pada seorang yang lain. Dia yatim piatu sejak kecil. Lelaki paruh baya yang tak dikaruniai keturunan membawa bocah itu pulang ke rumahnya. Mengangkatnya sebagai anak. Sebelumnya dia juga mengangkat seorang anak perempuan dan seorang lagi laki-laki. Kasih sayangnya terhadap anak-anak angkatnya mengagumkan. Orang-orang kadang kasihan mengapa lelaki penyayang itu tidak punya anak kandung. Sementara di tempat lain, ada yang dikaruniai anak kandung tapi justru membuang darah dagingnya sendiri. Hidup memang penuh kontradiksi. 

Tahun-tahun berlalu. Bocah laki-laki itu tumbuh dewasa. Pembawaannya ceria, santun dan bersahabat. Orang-orang menyukainya. Suatu ketika saya bertemu ayah angkatnya. Beliau bercerita bahwa puluhan tahun ia hidup serumah dengannya sejak masih kecil hingga lelaki itu berkeluarga dan punya anak, dan selama itu pula ia tak pernah melihat setitik air jatuh dari matanya. Tak ada yang mampu membuatnya menangis. Orang yang bergaul dengannya pun lambat laun menyadari bahwa lelaki itu tak pernah menangis oleh sebab apapun, tidak juga oleh kematian.

Orang itu mengingatkan saya pada balok-balok es dalam gelas. Setiap manusia punya inti beku dengan ukuran berbeda-beda dalam hati mereka. Ia tergeletak jauh di kedalaman. Lalu tembok tinggi dibangun di atasnya. Di luar tembok, kehidupan berjalan seperti biasa. Seperti musim yang berganti dari musim semi, musim hujan, panas, teduh, gugur dan dingin. Orang-orang yang berinteraksi dengan kita hanya mampu menjangkau kehidupan di luar tembok. Sementara inti beku tetap tersimpan jauh di kedalaman. Tapi kasus orang itu sedikit berbeda. Tak ada musim hujan di sana. Inti beku miliknya seperti punya fungsi lebih. Semacam freezer. Segala hal yang mengarah pada air mata akan dibekukan menjadi balok-balok kecil lalu disimpan atau mungkin dibuang entah kemana dan lewat apa. 

Satu setengah jam berlalu. Operasi selesai. Dokter keluar mengabarkan telah lahir anak perempuan dengan bobot 2,5 kg. Kondisi sang ibu juga stabil. Mendengar kabar itu, raut cerah yang hilang selama hampir empat jam, kembali terpasang di wajah suami sepupu. Pikirannya yang melayang entah kemana akhirnya kembali menyatu dengan jasadnya. Terlihat dari sikapnya yang cekatan mengurus beberapa keperluan yang diminta dokter. Kami membiarkannya melakukan sendiri. Tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Tepat ketika hari baru beberapa menit berganti nama, kami pun pamit pulang.
 
;