21 November 2011

Murid Bukan Sasak Tinju

Belakangan ini berita-berita nasional sering menyangkan berita kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa. Di antara siswa-siswa yang menjadi korban, ada yang sampai lumpuh akibat pukulan dan tendangan gurunya. Saya juga sempat melihat sebuah rekaman yang yang memperlihatkan seorang guru memukul wajah muridnya sampai terbanting ke tanah. Tidak sampai di situ, sang guru bahkan menambahkan tendangan ke murid tersebut. Kasus lain juga menyebutkan bahwa seorang kepala sekolah menghukum muridnya yang tidak mengerjakan PR dengan mendudukkannya di tengah lingkaran api yang diberi bensin. Hal itu membuat siswa tersebut trauma. Ada juga seorang murid yang tidak berani lagi keluar rumah dan hanya mengurung diri di kamar setelah dihukum berdiri oleh gurunya.

Guru adalah titik pusat perhatian murid di lingkungan sekolah. Setiap tindak tanduknya kelak besar kemungkinan ditiru oleh para murid. Karena itulah seorang guru selalu dituntut untuk menjadi teladan. Tapi sayangnya, tidak semua guru adalah seorang pendidik. Guru yang gemar menjadikan murid-muridnya sebagai sasak tinju tidak pantas mendapat gelar itu. Menjadi seorang guru tidaklah semudah yang terlihat. Meski telah menempuh pendidikan di perguruan tiggi selama kurang lebih empat tahun dan telah menjalani magang di berbagai sekolah serta telah diberi keterampilan mengajar, tidak langsung membuat seseorang bisa menjadi guru yang sebenar-benarnya.

Saya sempat beberapa kali terlibat diskusi dengan teman-teman yang mengambil jurusan keguruan atau yang sudah menjalani magang di beberapa sekolah atau teman yang sudah menjadi guru di sebuah sekolah. Mereka semua mengaku bahwa menjadi guru itu sangat berat. Selain harus menguasai materi, menjaga sikap dan wibawa, mereka juga harus senantiasa melatih kesabaran. Dan inilah yang paling sulit yaitu menjaga kestabilan emosi terutama jika menghadapi siswa yang nakal. Dari semua tingkatan, mereka mengatakan bahwa yang paling sulit adalah mengajar murid SD. Tentu saja, mengajarkan puluhan anak hal-hal dasar seperti mengeja huruf, menulis, dan berhitung memang menuntut keahlian dan kesabaran yang luar biasa.

Saya pernah bertanya, apa yang mereka lakukan jika berada di puncak emosi menghadapi menghadapi kenakalan siswanya ? Beberapa mengatakan hanya menggebrak meja, atau memukulkan sapu ke meja sampai sapu itu patah. Tapi pantang baginya melakukan kekerasan fisik pada murid sehingga yang menjadi korban kemarahannya adalah sapu dan meja. Hal yang menurutnya paling fatal yang pernah dia lakukan adalah mencubit seorang murid dan memarahinya di depan kelas. Katanya murid itu sampai menangis tapi teman saya bilang bahwa tangisan itu bukan karena sakitnya cubitan, tapi hatinya yang sakit karena dipermalukan di depan umum. Lihat, betapa kesabaran adalah sebuah harga yang sangat mahal bagi seorang guru.

Sejak sekolah dari SD sampai SMA, hukuman yang bersifat kekerasan yang pernah saya saksikan hanya sebatas tamparan di wajah. Tidak pernah lebih dari itu. Tapi itu tetap membuat hati saya miris dan sejujurnya, wibawa seorang guru berkurang di mata saya jika dia sudah berani memukul. Saya tidak lagi hormat atau segan padanya tapi turun tingkat menjadi takut padanya. Beberapa kali saya melihat teman-teman saya ditampar karena hal-hal yang sebenarnya sangat sepele. Hati saya ikut sakit.
Guru adalah contoh, teladan bagi siswanya. Mungkinkah siswa bisa taat aturan untuk tidak merokok dalam sekolah jika gurunya saja bebas merokok dalam kelas dengan alasan tidak bisa berpikir tanpa rokok ? Mungkinkah menjadikan seorang siswa gemar membaca jika gurunya saja hanya membaca satu buku pegangan untuk satu mata pelajaran ? Mungkinkah menumbuhkan siswa yang bermoral dengan guru yang kerap menjadikan muridnya sebagai sasak tinju ?

Bisakah kekerasan mengubah seorang murid ?
Mungkin ya, mungkin tidak. Entahlah. Seorang teman pernah mengatakan bahwa andaikan dulu dia tidak ditampar oleh gurunya mungkin dia tidak akan berubah. Tapi saya pribadi tidak sepakat. Meski itu ‘hanya’ sebuah tamparan. Karena saya pun pernah mengalaminya sewaktu masih SD. Bukan sebuah tamparan, tapi pukulan penggaris kayu satu meter di kaki karena tidak bisa menjawab soal matematika di papan tulis. Hasilnya, saya semakin membenci matematika dan juga guru saya. Untunglah, hubungan saya dan matematika berubah tepat di awal masa SMA oleh seorang guru yang agak nyentrik, senang bercanda dan tegas. Dia tidak pernah memukul saya dengan penggaris satu meter tapi memancing rasa penasaran saya bagaimana memecahkan soal. Jika saya tertarik saya pasti akan berusaha keras mencari tahu. Sejak saat itu saya menyukai matematika bahkan berencana masuk jurusan matematika saat kuliah walaupun karena sebuah alasan ‘konyol’, akhirnya saya memutuskan masuk jurusan lain. Saya tidak akan melupakan jasa guru itu. Satu-satunya guru yang membuat saya menyukai matematika.

Mendidik siswa dengan cara menjadikannya sebagai sasak tinju tidak akan mengubah generasi bangsa ini menjadi lebih baik. Justru akan melahirkan predator-predator baru yang mungkin saja lebih sadis dari sebelumnya.
 
;