Ini agak rumit. Saat kau bercerita, aku hanya termangu. Mudah tapi rumit, rumit tapi mudah. Tak ada yang tahu pasti. Begitulah takdir. Kadang takdir bisa jauh lebih rumit dari rumus fisika. Seperti kau yang berlalu lalang mencarinya. Yah, cukup lama menurutku. Tapi menemukannya sama saja seperti, misalnya, kau bisa berbalik saat anak panah yang ditembakkan padamu luput. Jika sedetik itu kau terlambat berbalik, kau bisa mati. Mungkin saja suatu hari di sebuah jalan, kau telah berbelok di tikungan, sementara orang yang kau cari-cari itu baru saja keluar dari pintu. Jika sedetik saja kau menunggu, mungkin kau akan bertemu dengannya.
Ini seperti permainan keberuntungan. Tapi seperti kata pepatah, menunggu keberuntungan sama saja dengan menunggu kematian. Jadi kau terus mencarinya. Dari di dunia nyata sampai dunia maya. Kau selalu berharap ia ada di antara pengendara yang memenuhi sesaknya jalanan, tiap kali aksi demonstrasi ditayangkan di TV, kau selalu berharap ia ada di antara orang-orang itu. Tapi tak pernah. Kau tak pernah menemukannya di kesibukan jalan raya. Tidak juga di antara para demonstran yang melakukan aksi. Pun di dunia maya, tak tertinggal jejaknya. Berkali-kali kau ketikkan nama atau apapun yang berhubungan dengan dirinya dan berharap google akan berbaik hati menemukannya. Tapi nihil. Aku hanya tertawa mendengar ceritamu. Oh, maaf...maaf kawan, aku hanya kagum atas usaha yang kau lakukan. Sama sekali bukan untuk mencela. Sayangnya, tak seorang pun tahu akan lahir dimana dan akan bertemu dengan siapa. Mungkin saja keberuntungan itu terletak beberapa detik di belakangmu. Tapi kau terus menjauh. Atau mungkin ia ada selangkah di depanmu, karena itu kau harus terus berlari mengejarnya. Tak ada yang tahu pasti.
Tak jarang pula takdir itu sederhana. Suatu waktu, aku tiba-tiba disergap rasa rindu pada seseorang. Lama kami tak bertemu. Aku ingin sekali bertemu dengannya. Seperti biasa, aku menatap langit sambil terus memikirkannya. Saat akan beranjak, tiba-tiba beberapa meter di depan, orang yang kucari itu sudah berdiri sambil tersenyum. Dunia memang tidak pernah berubah ukuran. Takdirlah yang membuatnya menjadi ‘sempit’ atau ‘luas’.
Dari arah timur, selimut malam mulai memudar. Di tengah langit sana, bulan surut berpendar.
Untuk seorang kawan, yang belum juga siuman di kala fajar