10 December 2011

KEMI, Cinta Kebebasan Yang Tersesat

Beberapa hari yang lalu saya mengkhatamkan sebuah Novel berjudul KEMI, Cinta Kebebasan Yang Menyesatkan. Saya menemukannya di emperan sebuah toko. Saat pertama kali melihat, saya merasa ada yang unik dari gambar sampulnya. Setelah tahu bahwa buku itu adalah novel perdana Adian Husaini, maka saya pun membelinya. Saya tidak terlalu kenal penulisnya. Setahu saya, beliau adalah salah satu dari orang-orang yang giat menentang liberalisasi Islam. Buku-bukunya kebanyakan nonfiksi, bertema pemikiran dan peradaban islam serta menggunakan bahasa ilmiah. Tapi di kota ini, saya sulit menemukan buku-bukunya yang lain. Yang saya temukan hanya novel ini. Di kaki sampul depan novel terdapat endorsement dari sastrawan Taufik Ismail : “Setelah wajah pesantren dicoreng-moreng dalam film Perempuan Berkalung Sorban, novel Adian Husaini ini berhasil menampilkan wajah pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang ideal dan tokoh-tokoh pesantren yang berwawasan luas, sekaligus gigih dalam membendung gelombang liberalisme”. 

Novel ini terbit pertama kali pada bulan September 2010. Tapi baru muncul di kota ini menjelang akhir 2011. Kemarin saya jalan-jalan ke Graha Media dan melihat novel ini duduk di antara buku-buku lain. Novel ini bercerita tentang tiga anak manusia. KEMI, seorang santri cerdas, melanggar amanah sang kyai, meninggalkan pesantren dan menjadi aktivis liberal. Angan-angan kebebasan menjerumuskannya. Ia terjerat, terperosok dan terperangkap dalam kebebasan yang didambakannya, bahkan mengancam jiwanya. Rahmat, santri cerdas dan tampan, utusan sang kyai, berusaha menyelamatkan Kemi. Sejumlah tokoh liberal terkemuka berhasil ditaklukkannya. Seorang kyai liberal wafat di ruang diskusi setelah bertemu dengannya. Siti, feminis liberal, putri kyai terkenal. Mulai mempertanyakan arti kebebasan yang selama ini dimaknainya. Cintanya pada Rahmat tak terbendung. Tapi bayang-bayang dosa dan masa depan pesantrennya membawanya pada suatu keputusan pahit. 

Alur cerita novel ini sederhana. Bahasa yang digunakan pun adalah bahasa standar sastra, tidak seperti novel islami pada umumnya yang mempunyai kata-kata yang memikat (sok tahu, padahal saya jarang baca novel islami :P). Walau begitu novel ini banyak memberi inspirasi dan pencerahan. Banyak ide-ide liberal yang dibahas dalam bentuk dialog seperti teori Transendent Unity of Religion (kesatuan transendensi agama-agama), kekeliruan paham pluralisme agama, jawaban tentang logika objektif dan “netral agama” dan masih banyak lagi. Pembahasan tentang logika objektif tercantum dalam dialog menarik antara Rahmat dan Kemi di halaman 66-67 :
Kemi   : “itu kebenaran subjektif. Kamu menggunakan standar ganda dalam menilai agama-agama lain karena parameter yang kamu gunakan adalag standar islam. Itu tidak adil. Dalam menilai agama lain, seharusnya digunakan standar yang netral dan objektif. Itu baru ilmiah.”
Rahmat : “ Kemi, Kemi...kamu terperdaya oleh logika yang salah...tapi seolah-olah ilmiah. Logika kamu ini sangat berbahaya. Kalau menurut Al Qur’an surah Al-An’am ayat 112, logika-logika macam ini termasuk kategori ‘zukhrufal qauli ghurura’, kata-kata indah dengan tujuan menipu. Coba kita pikirkan, sebenarnya manusia itu tidak terlepas dari kebenaran subjektif. Kamu tidak percaya imam Syafi’i, tetapi kamu percaya kebenaran Nasr Hamid Abu Zaid; kamu tidak percaya kebenaran yang dibawa oleh sahabat Nabi, tetapi kamu akhirnya mengambil apa yang kamu anggap sebagai kebenaran yang diceritakan para orientalis. Tetapi, kebenaran subjektif bisa menjadi objektif ketika menjadi kebenaran bersama. Itu yang dalam islam diterima sebagai Ijma’. Manusia menerima kebenaran bersama. Kalau tidak ada kebenaran bersama, manusia tidak bisa berhubungan satu dengan lain. Jika Tuhan satu, maka logikanya, tidak mungkin Tuhan mengharamkan babi dan pada saat yang sama Tuhan yang satu itu juga menghalalkan babi.”

Atau tentang pentingnya aspek pengakuan yang tertuang di halaman 83-86 :
Di tengah maraknya paham kemanusiaan (humanisme) di tengah masyarakat, banyak orang bertanya tentang relevansi iman di era modern sekarang. Ada santri yang pernah bertanya pada Rahmat. 

“Bagaimana kita memahami keadilan Allah, jika ada orang baik seperti Bunda Teresa dan Nelson Mandela akan dimasukkan ke dalam neraka, sedangkan orang-orang jahat akan masuk surga hanya karena ia bergama islam ?” 

Rupanya pertanyaan semacam ini juga pernah disampaikan kepada kyai Rois. Dan jawaban kyai Rois sangat mudah dicerna. Kyai Rois mengibaratkan iman sebagai pengakuan dan pembenaran. Aspek pengakuan tidak kalah pentingnya dengan aspek perbuatan. Dicontohkan, seorang anak yang tidak mengakui orangtuanya, seperti Malin Kundang, dipandang sebagai anak durhaka, meskipun si anak rela berbuat baik kepada orangtuanya. Begitu juga orang tua yang tidak mau mengakui anaknya sendiri sebagai anak kandungnya, akan dikatakan sebagai orang tua yang jahat, meskipun anak itu diberi perawatan dan pembiayaan yang baik. Hanya saja, nasab anak itu dikaburkan. Ia tidak diakui sebagai anak oleh orang tuanya. 

Jadi, kata kyai Rois, aspek pengakuan dan pembenaran ini sangat penting. Itulah persaksian (syahadat). Yang dicari pertama kali ketika negara Indonesia merdeka adalah pengakuan, bukan bantuan. Begitu juga suami istri harus saling mengakui. Utusan negara lain yang datang ke Indonesia juga perlu pengakuan dari negara Indonesia, sebelum utusan itu diperlakukan dengan baik. karena itulah, Allah meminta manusia agar mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan. Sebagaimana firman-Nya, “Qul Innani ana Allahu. La-ilaha illa Ana, fa’budni wa aqimish shalata li-dzikri,” Katakanlah, Aku adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. (Thahaa : 14)
........Karena itulah, simpul kyai Rois, jika ada orang tidak mau mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan, dan tidak mengakui Muhammad sebagai utusan Allah, padahal orang itu sudah tahu akan kebenaran tersebut, ia termasuk kategori bukan orang baik. ia jahat karena syirik. Karena itulah, syirik disebut sebagai kezaliman yang besar. 

Novel ini sangat bagus untuk dikonsumsi terutama bagi mahasiswa. Karena hampir setiap hari mereka bersinggungan dengan paham-paham keliru yang banyak beredar di kampus. Saya jarang menemukan novel islami yang berfokus pada tema pemikiran, bahkan rasanya tidak pernah ada novel seperti ini sebelumnya. Novel ini berakhir dengan misi Rahmat yang berhasil walau Kemi harus menjalani rehabilitasi di Rumah Sakit Jiwa. Siti, si feminis liberal juga menyadari kekeliruannya dan kembali ke pesantren. Dari info yang beredar, katanya novel ini akan dibuat lanjutannya berhubung masih banyak ide-ide liberal yang belum sempat dibahas. Selain itu banyak masukan dari pembaca agar melanjutkan kisah Rahmat dan Siti yang menggantung di akhir novel.
 
;