“Tanpa kusadari sikap realistis sesungguhnya mengandung bahaya sebab ia memiliki hubungan linear dengan perasaan pesimis. Realistis tak lain adalah pedal rem yang sering menghambat harapan orang”
~Andrea Hirata, Sang Pemimpi~
~Andrea Hirata, Sang Pemimpi~
Masa depan adalah misteri. Gaib. Tak seorangpun yang bisa memastikan dirinya lima atau 10 tahun ke depan. Jangankan bilangan tahun, apa yang akan terjadi beberapa jam kemudian pun tidak. Kematian, kecelakaan, penyakit, kegagalan, dan lainnya adalah pengingat yang menakutkan. Tak jarang, saya sering dihinggapi pikiran-pikiran buruk tentang masa depan. Beberapa hari yang lalu saya satu angkot dengan seorang ibu yang menggendong bayinya. Awalnya saya tidak memperhatikan karena tenggelam dalam buku yang saya baca. Buku itu bercerita tentang memoar seorang ibu, survivor kanker payudara. Setelah beberapa orang turun, penumpang yang tersisa tinggal saya, ibu itu dan anaknya. Cuaca yang panas membuat saya berhenti membaca dan mengalihkan perhatian pada ibu tadi. Beberapa detik kemudian, saya menyadari sesuatu yang membuat saya berhenti bernapas beberapa detik. Anak yang ada dalam gendongan ibu itu -yang awalnya saya kira adalah bayi- ternyata memiliki tulang yang sangat kecil. Ia memakai celana panjang biru gelap, kemeja lengan pendek warna biru muda yang kebesaran di tubuhnya, dan peci di kepala. Wajahnya serupa balita tapi tulangnya terlalu kecil. Siapapun yang melihat akan tahu bahwa ada yang tidak normal pada anak itu. Melihat saya yang terus memperhatikan anaknya, ibu itu tersenyum.
“Usianya 17 tahun tapi terlihat seperti bayi. Kena penyakit tulang”, Ibu itu menjelaskan tanpa menunggu saya bertanya. Setelah terlibat dalam percakapan pendek, saya tahu anak itu bernama Putra. Ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Melihat anak itu membuat hati saya seperti diremas-remas. Di usianya remaja, seharusnya ia sedang memakai seragam putih abu-abu. Seharusnya ia sedang ngos-ngosan berlari, berkelahi dengan waktu untuk mencapai gerbang sekolah yang hampir ditutup oleh guru piket. Seharusnya ia sedang sibuk hilir mudik mengurus kegiatan osis. Seharusnya ia sedang tenggelam mencatat rumus-rumus dan teori di meja kelasnya. Seharusnya ia sedang duduk di bawah pohon sambil membaca buku. Seharusnya ia sedang giat belajar untuk persiapan masuk universitas. Seharusnya...
Baru sepekan yang lalu setelah saya mengunjungi ibu teman yang terkena kanker, tiba-tiba dua hari kemudian datang berita yang membawa kabar kematian beliau. Di lain waktu, saat senja diliputi keremangan dan titik-titik hujan turun satu-satu, seorang anak berjalan sambil memeluk tubuh melawan hawa dingin. Di tangannya terdapat buku-buku kumal untuk dijual. Ia menawarkan dari satu rumah ke rumah lain. Beberapa pemilik rumah langsung menyerahkan selembar uang tanpa melirik buku itu. Sisanya menutup pintu, membiarkan anak itu kelelahan mengucapkan salam dan akhirnya pergi. Pemilik rumah baru keluar setelah bunyi kentongan gerobak bakso lewat.
Begitulah, beberapa hal yang saya temui, kadang mendatangkan rasa cemas akan apa yang terjadi pada diri saya di masa mendatang. Kematian orangtua teman saya membuat saya membayangkan bagaimana jika saya juga mengalaminya. Saya pernah berkata pada ibu, bahwa jika saja bisa memilih, saya akan memilih menjadi orang yang meninggalkan, bukan yang ditinggalkan. Apa yang terjadi pada anak tadi membuat saya berpikir bagaimana jika nanti saya punya anak. Bisakah saya menjadi ibu yang baik, bisakah saya merawatnya, apakah dia akan sehat dan normal seperti anak-anak lainnya. Jika kami sekeluarga berkumpul, saya selalu berpikir bisakah saya membangun keluarga yang seperti ini. Jika hanya akan berakhir dengan kekecewaan, mungkin sebaiknya tak perlu memulai apapun. Yah, sangat pesimis memang. Tapi seperti itulah cara kerja realistis, seperti pedal rem. Dan saya harus melepaskan cengkeramannya sedikit demi sedikit.
“Usianya 17 tahun tapi terlihat seperti bayi. Kena penyakit tulang”, Ibu itu menjelaskan tanpa menunggu saya bertanya. Setelah terlibat dalam percakapan pendek, saya tahu anak itu bernama Putra. Ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Melihat anak itu membuat hati saya seperti diremas-remas. Di usianya remaja, seharusnya ia sedang memakai seragam putih abu-abu. Seharusnya ia sedang ngos-ngosan berlari, berkelahi dengan waktu untuk mencapai gerbang sekolah yang hampir ditutup oleh guru piket. Seharusnya ia sedang sibuk hilir mudik mengurus kegiatan osis. Seharusnya ia sedang tenggelam mencatat rumus-rumus dan teori di meja kelasnya. Seharusnya ia sedang duduk di bawah pohon sambil membaca buku. Seharusnya ia sedang giat belajar untuk persiapan masuk universitas. Seharusnya...
Baru sepekan yang lalu setelah saya mengunjungi ibu teman yang terkena kanker, tiba-tiba dua hari kemudian datang berita yang membawa kabar kematian beliau. Di lain waktu, saat senja diliputi keremangan dan titik-titik hujan turun satu-satu, seorang anak berjalan sambil memeluk tubuh melawan hawa dingin. Di tangannya terdapat buku-buku kumal untuk dijual. Ia menawarkan dari satu rumah ke rumah lain. Beberapa pemilik rumah langsung menyerahkan selembar uang tanpa melirik buku itu. Sisanya menutup pintu, membiarkan anak itu kelelahan mengucapkan salam dan akhirnya pergi. Pemilik rumah baru keluar setelah bunyi kentongan gerobak bakso lewat.
Begitulah, beberapa hal yang saya temui, kadang mendatangkan rasa cemas akan apa yang terjadi pada diri saya di masa mendatang. Kematian orangtua teman saya membuat saya membayangkan bagaimana jika saya juga mengalaminya. Saya pernah berkata pada ibu, bahwa jika saja bisa memilih, saya akan memilih menjadi orang yang meninggalkan, bukan yang ditinggalkan. Apa yang terjadi pada anak tadi membuat saya berpikir bagaimana jika nanti saya punya anak. Bisakah saya menjadi ibu yang baik, bisakah saya merawatnya, apakah dia akan sehat dan normal seperti anak-anak lainnya. Jika kami sekeluarga berkumpul, saya selalu berpikir bisakah saya membangun keluarga yang seperti ini. Jika hanya akan berakhir dengan kekecewaan, mungkin sebaiknya tak perlu memulai apapun. Yah, sangat pesimis memang. Tapi seperti itulah cara kerja realistis, seperti pedal rem. Dan saya harus melepaskan cengkeramannya sedikit demi sedikit.