09 April 2012

Tentang Kepekaan

Ibu adalah perempuan yang peka terhadap hal-hal di sekitarnya. Berbanding terbalik dengan saya. Sejak dulu saya sudah kenyang disebut cuek, entah apa indikatornya. Komentar itu diaminkan berjamaah mulai dari teman-teman, sepupu bahkan ayah dan ibu saya sendiri. Sejak kecil ibu hidup susah tapi beliau tak pernah menceritakannya. Kisah perjuangannya saya dengar dari ayah. Dulu, sebelum berangkat sekolah ibu harus mengupas kelapa puluhan butir. Dari hasil kerja inilah ibu mendapatkan uang saku dan mampu membeli buku. Nenek saya (ibunya ibu) adalah perempuan yang buta sehingga ibu dan saudara-saudaranya bahu-membahu mengurus rumah. Karena itulah ikatan persaudaraan mereka sangat erat. Bahkan meski Ibu dan saudara-saudaranya telah berkeluarga, mereka sepakat untuk membangun rumah yang berdekatan satu sama lain sehingga teman bermainku tak lain adalah sepupu-sepupuku sendiri. Jika ada masalah yang menimpa rumah tangga salah satu saudara ibu, pasti akan dimusyawarahkan. Dibicarakan bersama-sama. Sms atau telpon jarkom musyawarah adalah hal yang rutin dalam keluarga besar kami. Tapi kami -anak-anaknya- masih jarang dilibatkan kecuali jika masalah yang dimusyawarahkan menyangkut salah satu di antara kami, misalnya ketika salah satu sepupu saya bermasalah dengan temannya atau saat sepupu saya meminta izin untuk meminang seorang perempuan. Bahkan kadang, meski hanya tentang universitas apa yang akan dimasuki sang anak, mereka pasti akan berkumpul membicarakannya.

Kehidupan yang susah sejak kecil membentuk ibu menjadi pribadi yang tegas dan peka. Pernah di hari lebaran, saat rumah disesaki orang-orang yang datang bersilaturahmi, ibu membawa masuk beberapa anak remaja seusia saya dan menyuruh mereka makan. Tak satupun di antara mereka yang saya kenal. Ternyata ibu juga tidak. Saat saya tanya, ibu hanya menjawab bahwa mereka anak-anak pesantren yang tidak pulang kampung yang ditemuinya sepulang shalat ‘Ied di lapangan. Juga saat anak tetangga sakit ketika ditinggal orangtuanya yang tugas di luar kota, ibu yang pertama tahu. Ibu memasakkan makanan dan membantunya minum obat. Ibu juga pernah menampung seorang anak yang kabur dari rumah karena tidak tahan perlakuan ibu tirinya. Beberapa hari kemudian anak itu akhirnya memilih pulang. Walau begitu, Ibu jarang memperlihatkan perasaannya. Saya hanya pernah mendengar dari sepupu bahwa ibu menangis mengetahui saya sakit ketika masih kuliah. Mengingat itu semua selalu menjadi motivasi bagi saya untuk peka dengan sekitar. Semoga ke depannya saya tidak lagi dilabeli cuek oleh orang-orang.
 
;