“Langkah pertama untuk memusnahkan sebuah bangsa cukup dengan menghapuskan memorinya. Hancurkan buku-bukunya, kebudayaan dan sejarahnya, maka tak lama setelah itu bangsa tersebut akan mulai melupakan apa yang terjadi sekarang dan pada masa lampau. Dunia sekelilingnya bahkan akan lupa lebih cepat”
~Milan Kundera, Sastrawan Cekoslovakia~
~Milan Kundera, Sastrawan Cekoslovakia~
Dracula adalah satu dari sekian sejarah yang dipelintir untuk menutupi kisah yang sesungguhnya. Jika kita menyebut kata Dracula, maka yang umum muncul di kepala orang-orang adalah makhluk bertaring yang gemar menghisap darah, takut salib dan bawang putih, identik dengan kelelawar, tidur di siang hari dan memangsa di malam hari. Belakangan ini muncul versi baru tentang jenis dracula atau vampir yang digambarkan sebagai sosok tampan yang bisa membaca pikiran orang lain, punya keluarga, bersekolah seperti manusia umumnya dan jatuh cinta pada seorang gadis yang tidak bisa ia baca pikirannya (you know what i mean).
Tapi sangat jarang ada yang tahu bahwa Dracula sebenarnya adalah sebuah sejarah kelam penuh darah yang berhubungan dengan perang salib dan umat islam. Buku yang ditulis oleh Hyphatia Cnejna ini pertama kali terbit tahun 2007. Walaupun agak asing, mungkin sudah banyak yang membacanya. Buku ini bukanlah novel tentang makhluk bertaring seperti yang ditulis oleh Bram Stoker pada abad ke-19, tapi merupakan buku sejarah yang menguak asal-usul, kehidupan dan kekejaman seorang yang telah membantai umat islam dalam perang salib. Walaupun agak lemah dari segi motodologi penelitian, tapi penulisnya mampu menguraikan hal-hal menarik yang masih jarang diketahui masyarakat.
Perang salib merupakan perang dua peradaban besar yang sedang menggeliat pada abad pertengahan. Tanggal 25 Agustus 1095 adalah permulaan rangkaian perang salib. Sebanyak 150.000 prajurit yang berasal dari bangsa Prancis dan Norman bergerak menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Mereka dipimpin oleh Godfrey, Bomemond dan Raymond. Sementara itu pasukan Islam dipimpin oleh Imaduddin Zanki. Perang pertama terjadi di Edessa, wilayah yang berdekatan dengan Baghdad, berada di jalur Mesopotamia dan Mediterania. Perang ini dimenangkan oleh pasukan Islam. Setelah Zanki wafat, ia digantikan oleh anaknya, Numuddin Zanki yang kemudian berhasil merebut Antiochea dan seluruh wilayah Edessa. Setelah Numuddin wafat, pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalahuddin Al Ayyubi tahun 1175. Di tangan penglima inilah Yerussalem berhasil direbut kembali setelah 88 tahun berada dalam genggaman pasukan salib. Peristiwa itu terjadi dalam perang Hattin pada tanggal 2 oktober 1187 M.
Film yang berjudul “Kingdom of Heaven” juga menggambarkan tentang keberanian dan keluhuran budi seorang Shalahuddin. Ada kalimat pendek dalam sebuah dialog saat Shalahuddin ditanya arti Yerussalem bagi orang islam. Kalau tidak salah jawabannya begini, ‘Nothing...this is everything”. Berbeda dengan pasukan salib ketika merebut Yerussalem dan membantai umat Islam, Shalahuddin membiarkan umat Kristen aman di dalamnya. Berita bahwa Shalahuddin tidak melukai satupun umat kristen membuat Paus di Roma mati mendadak karena terkejut ada manusia semulia itu. Raja Richard bahkan mengeluarkan statemen seperti ini, "Saya lebih rela Yerusalem dipimpin oleh seorang Muslim yang bijak dan berjiwa ksatria daripada kota suci itu jatuh ketangan para baron Eropa yang hanya mengejar kekayaan pribadi ." Sikap ksatrianya membuat Shalahuddin dihormati kawan maupun lawan.
Perang salib membawa kemajuan bagi masyarakat Eropa. Pada masa itu Eropa yang berada dalam zaman kegelapan mendapatkan cahaya benderang dari peradaban islam. Orang-orang mulai belajar berbagai macam ilmu pengetahuan. Pada rentang abad X-XV peradaban islam sangat maju. Salah satu mercusuarnya adalah Cordoba (sekarang Spanyol). Saat itu perpustakaan-perpustakaan di Cordoba adalah tempat berkumpulnya para intelektual islam. Namun sayang, kebencian dan permusuhan terhadap islam sangat besar. Luka akibat kekalahan perang salib masih membekas di hati orang-orang barat. Barat kemudian berusaha mengaburkan sejarah dan menampakkan seolah-olah islam adalah agama yang hanya ditegakkan oleh pedang dan kekerasan. Tidak mengherankan jika saat ini umat islam digambarkan sebagai kaum teroris.
Setelah perang salib berlalu, umat islam mengalami kemunduran. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang awalnya menjadi ujung tombak kemajuan, pelan-pelan ditinggalkan. Cordoba jatuh ke tangan barat. Begitu pula identitas sebagai orang islam perlahan-lahan ditanggalkan oleh umatnya. Kemunduran ini mengakibatkan perasaan inferior sehingga dengan mudah pola pikir mereka dicengkeram. Lama kelamaan umat islam lupa bahwa mereka pernah menjadi mercusuar peradaban dunia.