Waktu kembali memainkan perannya, peran yang sangat apik. Begitu pelan dan hati-hati sehingga aku lupa bahwa untuk pertama kalinya melihatmu bukan dari bawah sinar bulan tapi dari semburat mentari pagi. Mungkin itu bukan pilihan yang buruk tapi cukup membuatku tertawayang menyisakan kekosongan di ujungnya. Kekosongan karena aku harus bersaing dengan sesuatu yang abstrak. Sesuatu yang selama ini membuatmu menutup diri dari sorotan matahari. Tapi asal kau tahu, aku lebih suka melihatmu berada di bawah payung malam, walau langit kota memang sudah tidak punya banyak bintang.
Jarum jam merangkak lesu membebaskan detik-detik yang hening di setiap putarannya. Menciptakan ruang hampa dalam jarak yang tak terlalu jauh. Dan dengan leluasa memberi kesempatan pada sunyi untuk mengambang di garis batas. Kau masih berdiam dalam kata dan suara. Namun apa yag terbaca takkan selalu menjadi apa yang seharusnya. Karena jika ia seperti itu, maka tak ada ruang untuk damai, kan? Itu yang selalu kau pegang erat. Dan itu pula alasan mengapa aku menghapus baris-baris kalimat di rongga pemisah. Aku tak ingin lagi bersandar pada waktu yang mengikat. Karena itu berarti aku akan membiarkanmu -dengan senyum sinismu- menghancurkan konstruksi yang kubangun tanpa ampun. Senyum sinis yang bisa kuterka dari pena yang kau goreskan. Senyum, yang membuat jari-jariku pun tergerak menulis, menuangkan pikiran seperti yang pernah kau sarankan. Membuatku mampu memilah-milah rasa dan menguraikannya dalam sebuah tulisan. Aku berterima kasih untuk itu.
Tapi memandangmu dan -lagi-lagi- senyum sinis itu, hanya akan membawaku pada ruang gelap dan suram. Seperti foto-foto lama penuh debu yang ditinggalkan di gudang penyimpanan. Seperti memandang langit abu-abu yang berisi rasa kagum dan benci. Mungkin tidak seharusnya lembaran itu terbuka. Ia serupa mimpi buruk, meninggalkan kehampaan yang menganga lebar saat terbangun. Dan kau masih sama, masih seperti biasa. Memantulkan bayangan di salah satu sisi cermin hingga siapapun tak bisa menguak bagian yang tersembunyi. Ya ya ya, penghormatan tak membutuhkan pengertian. Aku sudah bosan mendengarnya darimu. Sudahlah, kita berhenti di titik itu saja.
Jarum jam merangkak lesu membebaskan detik-detik yang hening di setiap putarannya. Menciptakan ruang hampa dalam jarak yang tak terlalu jauh. Dan dengan leluasa memberi kesempatan pada sunyi untuk mengambang di garis batas. Kau masih berdiam dalam kata dan suara. Namun apa yag terbaca takkan selalu menjadi apa yang seharusnya. Karena jika ia seperti itu, maka tak ada ruang untuk damai, kan? Itu yang selalu kau pegang erat. Dan itu pula alasan mengapa aku menghapus baris-baris kalimat di rongga pemisah. Aku tak ingin lagi bersandar pada waktu yang mengikat. Karena itu berarti aku akan membiarkanmu -dengan senyum sinismu- menghancurkan konstruksi yang kubangun tanpa ampun. Senyum sinis yang bisa kuterka dari pena yang kau goreskan. Senyum, yang membuat jari-jariku pun tergerak menulis, menuangkan pikiran seperti yang pernah kau sarankan. Membuatku mampu memilah-milah rasa dan menguraikannya dalam sebuah tulisan. Aku berterima kasih untuk itu.
Tapi memandangmu dan -lagi-lagi- senyum sinis itu, hanya akan membawaku pada ruang gelap dan suram. Seperti foto-foto lama penuh debu yang ditinggalkan di gudang penyimpanan. Seperti memandang langit abu-abu yang berisi rasa kagum dan benci. Mungkin tidak seharusnya lembaran itu terbuka. Ia serupa mimpi buruk, meninggalkan kehampaan yang menganga lebar saat terbangun. Dan kau masih sama, masih seperti biasa. Memantulkan bayangan di salah satu sisi cermin hingga siapapun tak bisa menguak bagian yang tersembunyi. Ya ya ya, penghormatan tak membutuhkan pengertian. Aku sudah bosan mendengarnya darimu. Sudahlah, kita berhenti di titik itu saja.